KLHK masih juga menggunakan paradigma lama dengan menyodorkan angka-angka dan data luas tanaman yang ditanami tanaman hutan saja setiap tahun, tanpa mampu melaporkan berapa luas tanaman hutan yang benar-benar menjadi hutan dalam arti yang sebenarnya.
Dalam refleksi akhir 2022 Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Direktur Jenderal Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Rehabilitasi Hutan menyatakan bahwa luas rehabilitasi hutan dan lahan 2022 seluas 77.103 hektare, termasuk rehabilitasi mangrove.
Tak ada penjelasan nasib rehabilitasi hutan tahun-tahun sebelumnya. Apakah masuk kategori berhasil, setengah berhasil atau bahkan gagal total.
Di era krisis iklim, rehabilitasi hutan mestinya menjadi kegiatan prioritas karena menaikkan serapan emisi karbon sebagai satu cara mitigasi iklim.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa MRV (measurement, reporting and verification) untuk program RHL, baik rehabilitasi hutan maupun rehabilitasi mangrove hingga saat ini belum terdapat perubahan signifikan dan tata kelola administrasinya sangat lemah.
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 23/2021 menyebutkan laporan hasil pengawasan dan berita acara penilaian untuk kegiatan reboisasi pada pemeliharaan II (tanaman umur tiga tahun) yang telah diserahterimakan dari pemerintah pusat kepada pemangku kawasan, pengelola kawasan, dinas provinsi/kabupaten/kota sesuai kewenangannya dilakukan pemeliharaan lanjutan dan pengamanan. Sinergi ini yang belum ada.
Tata kelola administrasi pengukuran, pemantauan, dan verifikasi (MRV) rehabilitasi hutan belum menjadi portofolio pemerintah dan terdokumentasi dengan baik.
Rehabilitasi tak sekadar menanam, karena pohon yang berfungsi menciptakan iklim mikro biasanya pohon dewasa dengan usia 15 tahun.
Dalam buku Status Hutan dan Kehutanan Indonesia 2018, ada data rehabilitasi hutan dan lahan pada 2015 seluas 200.447 hektare, 2016 seluas 198.346 hektare, 2017 seluas 200.900 hektare, 2018 seluas 188.630 hektare, 2019 seluas 396.168 hektare, 2021 seluas 152.454 hektare, dan 2022 seluas 112.418 hektare.
Dari data terlihat bahwa luas data rehabilitasi hutan tahun 2015, 2016, dan 2017 sampai akhir 2022 ini tidak berubah. Padahal waktu membuat pohon bertumbuh.
Sehingga datanya mestinya tersaji setiap tahun untuk mengukur keberhasilan rehabilitasi hutan tahun sebelumnya.
KLHK sebagai otoritas dan penanggung jawab kegiatan RHL di Indonesia, belum mampu menyusun dan menyajikan data keberhasilan RHL (khususnya hutan yang telah dibangun seperti hutan Wanagama di Gunung Kidul, DIY) berdasarkan time series yang runut dan logis berikut bukti portofolionya.
Gagasan penyelesaian solusi pengelolaan hutan yang disampaikan oleh kedua cawapres 2024 nomor urut 1 dan nomor urut 3, tidak ada hal yang baru karena telah dilakukan semua pada era pemerintahan Presiden Joko Widodo.
Pemanfaatan hutan alam tropika basah yang masih utuh di Indonesia, sebagai tempat menyerap karbon untuk menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) secara global telah dilakukan Indonesia dengan membuat road map (peta jalan) kontribusi yang ditetapkan secara nasional (nasionally determined contributions/NDC).
Demikian halnya dengan pemanfaatan nilai ekonomi karbon, Indonesia telah memanfaatkan perdagangan karbon melalui bursa karbon yang telah diresmikan Presiden pada September 2023 lalu.
Usul tentang keterlibatan masyarakat untuk mengelolas kawasan hutan, telah dibuka seluas-luasnya melalui UU Cipta Kerja bidang kehutanan dan PP no. 23/2021 tentang penyelenggaraan kehutanan.
Masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitar hutan termasuk masyarakat hukum adat diberikan akses seluas-luasnya melalui kegiatan perhutanan sosial.
Penguasaan lahan hutan oleh segelintir atau sekelompok orang/koorporasi, sejak era reformasi berangsur-angsur lambat, tapi pasti telah berkurang dengan sendirinya karena habis kontraknya atau dicabut oleh pemerintah di tengah jalan karena melanggar aturan yang telah disepakati.
Hanya korporasi berkinerja baik saja yang mampu bertahan, baik karena kontraknya diperpanjang atau memperoleh perizinan baru.
Buktinya dari kurang lebih 600 unit HPH pada 2000 lalu, hingga 2020, HPH (sekarang disebut Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Kayu Hutan Alam/ IUPHHK-HA) yang mampu bertahan tinggal 257 unit korporasi dengan luas 18,75 juta hektare.
Sementara hutan tanaman industri (HTI) yang sekarang berubah namanya menjadi Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu-Hutan Tanaman/IUPHHK-HT) tersisa 292 unit korporasi dengan luas 11,19 juta hektare.
Kesimpulannya, konsepsi pengelolaan hutan yang ditawarkan Muhaimin dan Mahfud belum menyentuh pada akar permasalahan pengelolaan hutan Indonesia yang kompleks dan sangat luas bila dikaitkan dengan perubahan iklim global saat ini.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya