Jika biasanya para nelayan mampu mengumpulkan 20-30 kilogram ikan dalam setengah hari, sejak perusahaan-perusahaan itu datang, tak lagi bisa dilakukan.
Air sungai pun berubah menjadi kecokelatan dan berlumpur, mengindikasikan adanya pencemaran logam berat yang berbahaya.
Lebih jauh lagi, ia menuturkan, banyak penyakit muncul dari kualitas air dan udara yang sudah tercemar, termasuk gangguan pernapasan dan kulit.
Kurangnya transparansi dan keterbukaan informasi dari perusahaan maupun Pemerintah Indonesia semakin memperburuk keadaan.
Masyarakat mengalami kesulitan untuk mengakses informasi mengenai dampak pencemaran industri terhadap kehidupan mereka.
"Pemerintah tidak pernah memberikan informasi yang jelas mengenai kegiatan dan dampak proyek tersebut,” kata Krista.
Baca juga:
CRI mengaku telah menyerahkan laporan dalam setahun terakhir ini kepada sejumlah perusahaan nikel, perusahaan kendaraan listrik seperti Tesla dan Ford, serta kementerian dan lembaga terkait, termasuk Kedutaan Besar China dan Kedubes Amerika Serikat di Indonesia.
Namun, tidak ada satupun yang menjawab atau memberikan tindak nyata yang konkret untuk menjawab persoalan tersebut.
Sementara itu, dikutip dari Kompas.id (7/11/2023), PT IWIP mengeklaim telah melakukan pemantauan secara reguler, dengan melibatkan laboratorium lingkungan terakreditasi dan terdaftar di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
PT IWIP juga telah memasang alat pemantauan kualitas air yang terkoneksi langsung dengan server KLHK.
Kemudian, IWIP mengaku telah mengelola lingkungan dan memantaunya rutin setiap enam bulan pada aspek geofisika dan kimia dengan total mencapai lebih dari 200 titik lokasi pemantauan.
Area sekitar kawasan dikatakan telah dijaga agar para nelayan tidak mendapat dampak dari pengaruh laut yang ada di kawasan industri. Misalnya dengan membuat kolam sedimen dan adanya silt curtain pada muara yang ada di area IWIP.
Baca juga: Jika Terbukti Melanggar, Perusahaan Nikel Bakal Dilaporkan ke Pemerintah
Adapun dengan temuan ini, Direktur Eksekutif CRI Brad Adams menyebut pentingnya evaluasi dan pengawasan segala bentuk hilirisasi industri di Indonesia.
Termasuk hilirisasi nikel dan sejumlah industri energi terbarukan lainnya, yang belum banyak disoroti karena disebut sebagai industri penghasil energi ramah lingkungan.
"Transisi energi diperlukan, tapi bagaimana memastikan hak asasi manusia terpenuhi, lingkungan terjaga, dan semua aturan dilakukan," ujar Brad.
Ia menegaskan, transisi energi penting demi mencapai target net zero emission pada 2060. Namun, jangan sampai Indonesia mau memiliki industri mobil listrik mendunia, dengan cara mengorbankan masyarakat di banyak daerah.
"Perlu ada pengawasan dan sanksi yang tegas. Tapi kekuatan Pemerintah Indonesia untuk mengatur investor masih lemah, lebih banyak diberi jalan dan kemudahan. Conflict of interest dan korupsi juga masih tinggi," pungkas dia.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya