KOMPAS.com - Peneliti Pusat Riset Ekonomi Perilaku dan Sirkuler Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Maxensius Tri Sambodo mengatakan, tidak ada formula ajaib untuk transisi energi.
Hal tersebut disampaikan Maxensius dalam workshop bertajuk "Climate Change Law and Policy: Comparative Study Between Korea and Indonesia in Achieving Green Energy Transition and Low Carbon Development" di Kantor BRIN Kawasan Sains Sarwono Prawirohardjo, Jakarta, Jumat (2/2/2024).
Workshop tersebut digelar oleh Pusat Riset Hukum (PRH) BRIN berkolaborasi dengan Korea Foundation.
Baca juga: Gen Z dan Milenial Desak Pemerintah Segera Transisi ke Ekonomi Hijau
Menurut Maxensius, transisi energi merupakan faktor endogen atau berasal dari dalam negeri yang didorong oleh kemauan politik dan keterlibatan pemangku kepentingan.
Faktor lainnya juga dipengaruhi dari luar negeri seperti konflik militer dan bencana energi seperti krisis nuklir atau global.
"Belajar dari sejarah, transisi yang terjadi didasarkan pada penemuan-penemuan baru, dengan dampak besar, dan dalam bentuk yang dapat diakses secara luas," kata Maxensius dikutip dari situs web BRIN, Senin (5/2/2024).
Dia menambahkan, kompleksitas transisi memerlukan pendekatan bertahap dan refleksi mendalam terhadap kebijakan memori institusional selama ini.
Baca juga: Pelaku Usaha Batu Bara Harus Didorong Terlibat Transisi Energi Berkeadilan
Sementara itu, Kepala PRH BRIN Laely Nurhidayah menjelaskan, perluasan energi terbarukan dan penghapusan bahan bakar fosil adalah salah satu elemen penting untuk dekarbonisasi.
Laely menyampaikan, Korea Selatan dan Indonesia memiliki persamaan dan perbedaan dalam mencapai transisi energi hijau.
"Suplai listrik Indonesia bergantung pada batu bara sebesar 65 persen, pembangkitan listrik di Korea (Selatan) juga sangat bergantung pada batu bara yang mewakili lebih dari 40 persen total pembangkit," jelasnya.
Walau begitu, Laely menggarisbawahi Korea Selatan jauh lebih maju dalam teknologi kendaraan listrik, pembangkit listrik tenaga nuklir, dan perdagangan emisi.
Baca juga: Masih Banyak Perusahaan Nasional yang Tak Paham Transisi Net-Zero
"Just transition (transisi yang adil) merupakan hal baru di Indonesia, apa yang dapat kami pelajari dari undang-undang di Korea adalah memasukkan ketentuan transisi yang adil dalam undang-undang domestik yang saat ini tidak ada dalam undang-undang domestik Indonesia," ujar Laely.
Profesor dari Yonsei University Tae Yong Jung menyatakan kerangka hukum merupakan sesuatu yang penting dalam mengatur transisi energi sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai.
Dia menjabarkan, transisi yang adil adalah kerangka kerja yang melibatkan serangkaian prinsip, proses, dan praktik untuk beralih dari perekonomian ekstraktif ke perekonomian regeneratif.
Hal tersebut adalah kerangka kerja berbasis visi yang membangun kekuatan ekonomi dan politik.
Baca juga: Komitmen Pasangan Capres-Cawapres untuk Nol Deforestasi dalam Transisi Energi Dipertanyakan
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya