Untuk FL, misalnya, terjadi kerena buruknya sarana dan prasarana terutama tempat penyimpanan, pengemasan dan pengolahan.
Sebagaimana kasus-kasus di negara berkembang seperti kita, kehilangan pangan pada tahap pra-panen lebih banyak terjadi karena sumber masalahnya juga beragam.
Hal yang sama berlaku dalam FW meskipun determinan utama dalam hal ini lebih pada perilaku konsumen seperti mengambil makanan, tetapi tidak dihabiskan, baik di rumah tangga maupun di restoran.
Sisa-sisa (sampah) ini kemudian berakhir di TPA dan membusuk yang kemudian menghasilkan gas metana dalam jumlah besar. Kelebihan metana, termasuk CO2 menyebabkan pemanasan global.
FLW adalah isu global, tidak hanya menguras kas negara—memengaruhi pertumbuhan ekonomi, tetapi terbukti pula merusak lingkungan.
Hal yang membuat Presiden Jokowi meminta jajarannya untuk mewaspadai ancaman FLW. Saat yang sama potensi ancaman krisis pangan hampir melanda semua negara.
Laporan The Economist Intelligence Unit (EIU) bekerjasama dengan Barilla Center for Food and Nutrition (BCFN) berjudul “Food Sustainability Index 2017” memberikan gambaran persoalan FW di Indonesia sebagai masalah serius.
Indonesia menjadi produsen sampah makanan terbesar kedua di dunia setelah Arab Saudi.
Dalam studi itu disebutkan bahwa setiap orang Indonesia rata-rata membuang makanan sekitar 300 kg/tahun.
Sementara data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tahun 2021, di antara semua jenis sampah yang dibuang, sampah sisa makanan menjadi komposisi sampah yang paling banyak, yaitu sebesar 29,1 persen total sampah.
Suatu kondisi yang kontras dengan fakta di mana sekitar 20 juta penduduk Indonesia masih kesulitan mengakses pangan dengan kuantitas dan kualitas yang cukup.
FLW bukan lagi isu, ia sudah menjadi masalah serius dan harus menjadi gerakan bersama seluruh elemen bangsa, mulai dari tingkat pemerintah, produsen--supermarket--konsumen.
Sebisa mungkin dari hulu hilir tidak terjadi FLW sebagaimana ungkapan bijak waste not, want not bahwa seseorang sebaiknya tidak membuang apapun karena di masa mendatang diperlukan.
Beberapa strategi kebijakan antara lain:
Pertama, peningkatan inovasi. Perlu pengembangan teknologi pascapanen untuk meningkatkan efisiensi hasil pertanian.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya