Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Pramono Dwi Susetyo
Pensiunan

Pemerhati masalah kehutanan; penulis buku

Waktunya Menabung Air

Kompas.com - 20/03/2024, 08:02 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

UU No 41/1999 tentang kehutanan, pasal 18 ayat (2) menegaskan bahwa kawasan hutan yang dipertahankan untuk kecukupan luas kawasan hutan dan penutupan hutan (forest coverage) minimal 30 persen dari luas DAS dan atau pulau dengan sebaran yang proporsional.

Sayangnya aturan ini dalam undang-undang (UU) Cipta Kerja No 11 tahun 2020 bidang kehutanan, ketentuan angka minimal 30 persen dicabut dan berubah menjadi pemerintah pusat mengatur luas kawasan hutan yang harus dipertahankan sesuai dengan kondisi fisik dan geografis daerah aliran sungai dan/atau pulau.

Pada kenyataannya, untuk daerah yang berpenduduk padat seperti di Pulau Jawa, penutupan hutannya memang jauh di bawah angka 30 persen.

Misal DAS Solo yang membentang dari Jateng dan sebagian Jatim, luas penutupan hutannya tersisa 4 persen dan DAS Ciliwung tinggal 8,9 persen saja.

Faktor inilah yang dominan menyebabkan banjir setiap kali musim hujan (apalagi cuaca ekstrem seperti sekarang) pada daerah-daerah hilir, yang daerahnya rata-rata berada di daerah pantura sebagaimana yang disebut di atas.

Hutan penyeimbang neraca air

Dalam kondisi normal dan ideal di mana lingkungan DAS mendukung dan dalam kondisi yang baik, musim hujan adalah musim menabung air.

Tabungan paling bagus adalah hutan sebagai penyerap alamiah air yang bisa menyeimbangkan neraca air.

Secara alami, air tawar yang jumlahnya 2,5 persen total air yang ada di planet ini berasal dari air hujan, yang masuk ke permukaan, masuk ke dalam tanah, atau mengalir melalui sungai. Proses alam menguapkan kembali air itu menjadi air hujan.

Siklus itu terus terjadi seumur bumi. Air hujan yang masuk dalam wilayah tangkapan air (catchment area) di daerah aliran sungai ditangkap oleh hutan lalu dialirkan masuk ke dalam tanah.

Penelitian menyebutkan hutan berdaun jarum mampu membuat 60 persen air hujan terserap tanah. Sementara, hutan dengan pohon berdaun lebar mampu menyerap 80 persen air hujan.

Makin rapat pohon yang ada dan makin berlapis-lapis strata tajuknya, makin tinggi pula air hujan yang terserap ke dalam tanah. Kawasan hutan lindung bahkan cagar alam, merupakan kawasan yang sangat efektif menyimpan air.

Hutan lindung dan cagar alam sebagai bagian dari hutan konservasi merupakan kawasan lindung yang melindungi kawasan di bawahnya.

Karena itu, hutan menjadi celengan dalam menabung air. Waduk adalah tabungan air yang dibuat manusia. Karena itu, neraca air akan terganggu jika hutan menjadi rusak atau dikonversi menjadi bukan hutan.

Alam sudah punya keseimbangannya sendiri. Maka menyalahkan curah hujan yang menjadi penyebab bencana hidrometeorologi seperti banjir, kurang bijaksana.

Curah hujan adalah variabel tetap (konstanta) yang tidak dapat diubah oleh manusia. Yang dapat diubah adalah variabel tidak tetap seperti mempertahankan dan menambah tutupan hutan dalam kawasan lindung agar kemampuan hutan menabung dan menyimpan air menjadi lebih besar dan meningkat.

Halaman Berikutnya
Halaman:

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com