Koordinator Sub Komisi Penegakan HAM Komnas HAM Uli Parulian Sihombing mengungkapkan, ada kesenjangan pengetahuan dari sejumlah stakeholder terkait hak kebebasan berpendapat dan berekspresi.
Baca juga: Survei: Perempuan Indonesia Wajib Berhenti dari Pekerjaan demi Perawatan
Hal inilah yang membuat banyak kasus kekerasan dan juga pencemaran nama baik yang dialami jurnalis.
“Sejak 2018-2024, ada tujuh kasus kekerasan yang dilaporkan ke Komnas HAM. Lima kasus kekerasan verbal dan dua kasus penyiksaan. Untuk kasus pencemaran nama baik dan pelanggaran UU ITE ada lima kasus,” papar Uli.
Kendati demikian, ia mengklaim bahwa komnas HAM sudah membuat panduan bahwa jurnalis adalah bagian dari pembela HAM. Hal ini juga sudah disampaikan kepada stakeholder terkait.
"Komnas HAM juga selalu berkoordinasi dengan Dewan Pers apabila menerima laporan terkait pencemaran nama baik yang dilakukan oleh jurnalis," tegasnya.
Adapun Direktur Pengelolaan Media Kementerian Komunikasi dan Informatika Nursodik Gunarjo mengatakan, pemerintah tidak akan mengatur pers karena sudah ada UU terkait kebebasan pers.
Baca juga: Mayoritas Mahasiswa Kurang Familiar Dampak Pekerjaan Hijau, Butuh Sosialisasi Masif
"Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah kalangan pers mengajukan kepada pemerintah untuk membuat UU yang bisa mengatur keselamatan jurnalis seperti UU Publisher RIght yang baru saja disahkan pemerintah," ujar Nursodik.
Sementara itu, Ketua AJI Indonesia Sasmito Madrid berharap, untuk menjamin keselamatan jurnalis, perlu segera dibuat rencana aksi nasional. Langkah ini dalam rangka mewujudkan keselamatan para jurnalis.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya