KOMPAS.com - Paradigma pengembangan energi di Indonesia lebih condong ke arah ekonomi, bukan berpatokan pada pelestarian lingkungan.
Peneliti Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Wasisto Raharjo Jati mengatakan, industri ekstraktif masih menjadi yang terdepan di Indonesia.
Bila dilihat dari neraca perdagangan, neraca minyak dan gas (migas) Indonesia cenderung turun. Pada Desember 2023, neraca migas bahkan minus 1,89 miliar dollar AS.
Baca juga: Slovakia Setop Produki Listrik dari PLTU, Andalkan PLTN dan Energi Terbarukan
Di sisi lain, tren neraca nonmigas justru mengalami kenaikan. Pada Desember 2023, neraca nonmigas mencapai 5,2 miliar dollar AS.
"Misalnya (neraca nonmigas) berasal dari hilirisasi nikel, pengolahan minyak sawit mentah, atau industri perkebunan lain," kata Wasisto dalam diskusi yang digelar Yayasan Indonesia Cerah dan diikuti secara daring, Rabu (27/3/2023).
Wasisto menuturkan, penggenjotan neraca nonmigas bakal menjadi tren yang akan diambil pemerintah ke depan.
Apalagi, sambung Wasisto, pemerintah terpilih usai Pemilu 2024 terus menggaungkan program hilirisasi.
Baca juga: Rusia Siap Berbagai Pengalaman dengan RI Kembangkan Energi Nuklir
"Ini semacam basis bagaimana pemerintahan ke depan melanjutkan program (pemerintah) sekarang ini," ucap Wasisto.
Di samping itu, ada kesenjangan pemahaman antara kelompok masyarakat dengan elite politik mengenai isu lingkungan.
Kondisi tersebut tercermin dalam paradigma politik sebelum dan sesudan Pemilu 2024 bahwa para elite politik lebih melihat alam sebagai komoditas bukan ekosistem.
Jargon-jargon program seperti energi baru terbarukan, food estate, hilirisasi, keadilan ekologis, hingga swasembada pun dinilai hanya sebagai upaya menjustifikasi agenda pembangunan.
Baca juga: PLN dan Perusahaan China Kaji Pengembangan Energi Hijau di Sulawesi
Di sisi lain, berbagai agenda pembangunan justru memicu terjadinya konflik agraria di masyarakat.
Menurut data Konsorsium Pembaruan Agraria, proyek infrastruktur menjadi kawasan dengan konflik agraria terbesar dengan total luasan 243.755 hektare.
Pertambangan dan perkebunan atau agribisnis menjadi sektor kedua dengan konflik agraria terbesar masing-masing 127.525 hektare dan 124.545 hektare.
Melihat dari potret tersebut, bisa disimpulkan konflik agraria memiliki kaitan erat dengan isu lingkungan dan energi.
"Terjadi semacam ketidakseimbangan kebutuhan sosial dan ekonomi di sini," ucap Wasisto.
Baca juga: IEA Sebut Energi Nuklir Penting untuk Capai Target Iklim
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya