KOMPAS.com - Direktur PT Adaro Minerals Indonesia Tbk Wito Krisnahadi mengungkapkan, perusahaan dan Hyundai Motor Company telah menandatangani nota kesepakatan atau Memorandum of understanding (MoU) tidak mengikat pada 13 November 2022 yang berlaku 12 bulan.
"Ini seiring dengan upaya Hyundai untuk menjajaki peluang pengadaan aluminium rendah karbon menggunakan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) yang ramah lingkungan di kemudian hari," ujar Wito saat dikonfirmasi Kompas.com, Senin (8/4/2024).
Wito menanggapi pemberitaan terkait Hyundai Motor Company yang memutuskan tidak melanjutkan MoU pembelian aluminium dari proyek smelter Adaro Minerals di Kalimantan Utara, Indonesia.
Baca juga: Buntut Desakan Fans K-Pop, Hyundai Batal Beli Aluminium dari Proyek Adaro
Dikutip dari Kompas.com (14/11/2022), melalui kerja sama yang disepakati pada November 2022 saat perhelatan B20 di Bali, Hyundai berhak membeli aluminium yang diproduksi anak usaha Adaro Minerals, Kalimantan Aluminium Industry, pada tahap awal.
Kemudian, negosiasi pertama mengenai pembelian aluminium rendah karbon yang diproduksi anak usaha Adaro Minerals itu dengan volume yang belum ditentukan.
Sebagai informasi, proyek pabrik pengolahan dan pemurnian (smelter) aluminium anak usaha Adaro tersebut disebut menggunakan PLTU batu bara sebagai sumber energinya.
Oleh karena itu Wito membantah, kerja sama tersebut merupakan kesepakatan dalam bidang energi baru terbarukan (EBT) yakni Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA), bukan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU), dan masa berlakunya telah habis.
"Setelah berakhirnya MoU pada akhir tahun 2023, kedua perusahaan memutuskan untuk tidak melanjutkan atau memperbaruinya, dan akan menjajaki peluang lain secara mandiri," imbuh dia.
Baca juga: Emisi Metana Tambang Batu Bara RI Lebih Tinggi daripada Karhutla
Hyundai Motor Company sendiri mengonfirmasi bahwa memang telah mengakhiri perjanjian pembelian aluminium dari Adaro Minerals.
Kesepakatan ini berakhir setelah ada seruan dari aktivis iklim yang didukung oleh penggemar K-pop untuk tidak membeli pasokan logam yang diproduksi menggunakan tenaga batu bara.
Dikutip dari Reuters (2/4/2024), Hyundai Motor mengatakan, mereka telah mengakhiri nota kesepahaman (MoU) tidak mengikat dengan Adaro, pada akhir tahun 2023.
Pihak Hyundai telah memutuskan untuk mengeksplorasi peluang lain secara mandiri.
Lebih lanjut, Wito meyakini pasar aluminium sangat besar. Hal ini didorong oleh tingginya kebutuhan aluminium di berbagai industri, mulai dari otomotif, baterai, kemasan, konstruksi, hingga alat pertahanan.
PT Adaro Minerals Indonesia Tbk diketahui telah menandatangani MoU dengan pihak-pihak lainnya yang siap menyerap hingga 70 persen dari total kapasitas produksi, seraya terus berusaha mengoptimalkan penyerapan pasar dalam negeri.
"Hal ini sejalan dengan komitmen kami untuk berpartisipasi pada program hilirisasi mineral pemerintah guna mengurangi ketergantungan Indonesia terhadap impor atas produk aluminium yang saat ini impor 1 juta ton per tahun. Sehingga dapat mengurangi trade deficit dan meningkatkan devisa negara," tutur Wito.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya