Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pikap Heri, Peretas Bekas Jalur Terisolir di Perbatasan RI-Timor Leste

Kompas.com - 14/04/2024, 12:00 WIB
Sigiranus Marutho Bere,
Hilda B Alexander

Tim Redaksi

ATAMBUA, KOMPAS.com - Matahari belum sepenggalan meninggalkan singgasananya. Heribertus Nikolaus Mali (23) bergegas meraih kunci mobil yang disimpan di sudut ruangan kamar tamu.

Langkahnya berteman kicau burung dan semburat sinar mentari menuntunnya menuju mobil pikap berwarna hitam yang diparkir di samping rumah.

Hari itu, Heri sapaan akrabnya bangun telat. Semalam dia begadang dengan teman-temannya hingga pukul 01.30 Wita.

Dengan sekelebat, mesin mobil pikap jenis Suzuki Carry keluaran tahun 2018 mulai dihidupkan.

Dia memeriksa sekeliling mobil untuk memastikan tidak ada yang kurang. Setelah semuanya beres, mobil mulai bergerak keluar menuju jalan raya.

Baca juga: Dari Hutan Desa Pertama Papua, Anak Muda Adat Serukan Penyelamatan Hutan

Heri adalah sopir mobil pikap asal Builalu, Desa Lamaksenulu, Kecamatan Lamaknen, Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur (NTT).

Tempat tinggalnya hanya berjarak sepelemparan batu dari wilayah Distrik Maliana, Negara Timor Leste.

Pemutar musik merek Kenwood dihidupkan. Dua pelantang suara kecil di bagian kabin mobil bagian depan mengeluarkan bunyi saling bersahutan, selaras dengan dentuman bas dua subwoofer di bagian belakang.

Heribertus Nikolaus Mali (23) di depan kendaraan bak terbukanyaKOMPAS.com/SIGIRANUS MARUTHO BERE Heribertus Nikolaus Mali (23) di depan kendaraan bak terbukanya
Lagu berirama Dansa Kizomba mulai diputar menemaninya mencari penumpang di pagi yang cerah itu.

Baru melaju sekitar 500 meter, seorang wanita berusia paruh baya berdiri di bahu jalan sebelah kiri melambaikan tangan.

Laju kendaraan dihentikan. Penumpang pertama itu dengan gesit naik di bagian belakang. Wanita bernama Elisabeth Mau, memilih duduk di kursi kayu baris terdepan.

Baca juga: Momen Mudik Lebaran Bisa Perkuat Ekonomi Desa Wisata

Kursi untuk penumpang yang duduk di bagian belakang pikap, berupa papan dari kayu jati yang diikat dan disusun rapi membentuk empat baris. Setiap baris diisi empat sampai lima orang.

Tak sampai 30 menit melaju, penumpang telah terisi penuh di bagian kabin depan dan belakang. Total 16 penumpang.

Pagi itu, Heri mengantar penumpang dari Builalu menuju Atambua, ibu kota Kabupaten Belu. Jaraknya mencapai 44 kilometer. Waktu tempuh sekitar satu jam.

"Kondisi jalan beraspal hotmix sangat mulus, sehingga jalan sampai ke Atambua lebih cepat," kata Heri, kepada Kompas.com yang mengikuti perjalanannya, Jumat (12/4/2024).

Jalur Panoramik

Di sepanjang perjalanan, suguhan panorama demikian indah. Pantai, bukit, langit biru tersaji harmonis. Ditambah lagi suara musik tanpa jeda, menambah kesempurnaan perjalanan.

Jalur panoramik di Jalan Perbatasan RI-Timor LesteKOMPAS.com/SIGIRANUS MARUTHO BERE Jalur panoramik di Jalan Perbatasan RI-Timor Leste
Bagi para penumpang setempat, kondisi itu sudah biasa. Hal itu berbeda jika penumpangnya dari luar wilayah Kecamatan Lamaknen. Pasti akan kagum dengan suguhan pemandangan alam segar yang asri dan indah.

Hilir mudik kendaraan yang melintas di sepanjang jalan tidak banyak. Sesekali terlihat kendaraan lainnya seperti sepeda motor, pikap, truk dan minibus.

Baca juga: 10 Provinsi dengan Akses Air Minum Layak Tertinggi, Jakarta Paling Atas

Tak terasa, mobil yang melaju dengan kecepatan antara 50 sampai 60 kilometer per jam, akhirnya tiba di Kota Atambua, setelah membelah hutan dan pegunungan serta lembah.

Semua penumpang turun di Pasar Lama Atambua. Heri memarkir mobilnya berjejer dengan mobil pikap lainnya di depan pertokoan. Dia menunggu penumpang yang akan kembali ke Builalu.

Sambil menunggu penumpang, Heri duduk di emperan toko, sembari menyeruput segelas kopi dan mengisap sebatang rokok merk terkenal Tanah Air.

Dia pun menceritakan kondisi wilayah Kecamatan Lamaknen yang sebelumnya terisolir, lantaran kondisi jalannya yang rusak.

"Kalau dulu, sebelum jalan diaspal hotmix, jalan dari kampung ke Atambua, bisa memakan waktu antara 4 sampai 5 jam. Itu pun musim panas. Kalau musim hujan, mobil tidak bisa jalan karena jalannya sangat rusak. Dulu kami terisolir, terluar dan tertinggal. Pokoknya semua yang ter ada pada kami," ungkapnya sambil tertawa lepas.

Halaman:

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau