Namun, kondisinya berbalik 360 derajat ketika jalan Sabuk Merah Perbatasan sepanjang 179 kilometer yang menghubungkan Pos Lintas Batas Negara (PLBN) Motaain Kabupaten Belu dan PLBN Kabupaten Malaka, mulai dibangun oleh pemerintah pusat tahun 2014 dan selesai pada 2020 lalu.
Wajah daerah terisolir di beranda Indonesia itu kini mulai bersolek. Jalan raya mulus tanpa lecet. Akses transportasi antara barang dan orang menjadi lebih lancar.
Baca juga: Membangun Desa dengan Kemandirian dan Kewilayahan
"Ini berkat bapak Jokowi. Kami khususnya yang tinggal di daerah perbatasan sangat berterima kasih kepada beliau, dengan adanya listrik dan jalan Sabuk Merah Perbatasan. Dari periode pertama beliau menjabat sampai sekarang perubahannya sangat pesat kami rasakan,"ungkap Heri.
Wilayah Lamaknen akhirnya terkena imbas pembangunan jalan di sepanjang garis perbatasan antara kedua negara.
Heri mengaku, mulai bekerja sebagai sopir pikap pada tahun 2019, setelah tamat Sekolah Menengah Atas (SMA). Pekerjaan itu dilakoninya hingga saat ini.
Heri tak sendirian. Dia bersama 12 sopir pikap lainnya harus berjibaku mengangkut penumpang setiap hari.
Namun kata Heri, dari 12 pikap dengan rute Builalu-Atambua, yang rutin jalan setiap hari hanya empat pikap, termasuk yang dikemudikan Heri.
Menurut Heri, pikap mulai diminati warga sebagai kendaraan angkutan umum favorit sejak tahun 2020 lalu, setelah bus yang biasanya masuk ke wilayah itu tak lagi beroperasi.
Selain pikap, ada juga kendaraan lain yang kerap digunakan warga yakni ojek. Namun, tarif ojek sekali pergi Rp 60.000. Tarif itu lebih mahal dari pikap yaitu Rp 30.000 per penumpang.
Baca juga: Kabupaten Malaka NTT Cegah Stunting dengan Pangan Lokal
Tarif pikap pun bervariasi, jika penumpang membawa barang tambahan seperti sepeda motor.
"Kalau motornya kecil, dari Builalu ke Atambua Rp 75.000. Tapi kalau motor besar seperti Yamaha Vixion dan Honda CRF biasanya Rp 100.000. Itu hitungannya di luar pemiliknya sebagai penumpang yakni Rp 30.000," ujar Heri.
Selain itu, ada juga warga Builalu yang biasanya menitip barang belanjaan sembilan bahan pokok (sembako) untuk kios mereka. Tarifnya pun tergantung banyaknya belanjaan.
"Hitungannya belanjaan Rp 5 juta lebih, bayarannya Rp 250.000. Kalau hanya titip satu atau dua dus kecil, itu biasanya Rp 10.000," kata Heri.
Hal terpenting yang selalu diperhatikan Heri, adalah kenyamanan para penumpang dan juga melayani warga yang menitip belanjaan. Dia melayani setiap penumpang dengan ramah dan kerap dibarengi canda tawa.
Sehingga, Heri selalu mendapat banyak penumpang yang menjadi langganan tetapnya.
"Untuk sekarang kembali ke pengaruh sopir. Jika sopirnya enak, berarti rezeki laju dan stabil. Kenyamanan penumpang diprioritaskan di era persaingan mobil yang banyak," katanya dengan senyum yang mengembang.
Pemasukan dari pikap, rata-rata per hari Rp 250.000. Jika sepi sehari hanya mendapat Rp 100.000. Tetapi jika penumpang membeludak, pemasukannya bisa mencapai Rp 500.000.
Baca juga: Angka Stunting NTT Ditarget Turun Jadi 10 Persen Tahun Ini
"Kalau lagi musim ramai itu biasanya di Bulan Desember. Tapi kalau sepi, itu biasanya antara Bulan Januari sampai Mei. Warga biasanya kerja sawah. Tapi rata-rata pemasukan per hari itu Rp 250.000," kata Heri.
Karena mobil yang dikemudikannya adalah milik bibinya, maka dia mendapat gaji berdasarkan pemasukan per hari.
Gaji yang diterimanya, sebesar 15 persen dari setoran. "Kalau dapat Rp 250.000, maka saya dapat Rp 37.500. Tapi biasa dibulatkan jadi Rp 40.000," ujar Heri.
Pemasukan itu belum termasuk tip dari penumpang langganannya serta para pedagang kios sembako.
Baginya, gaji dan tip yang diperoleh cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Apalagi dia masih bujang, sehingga tak perlu banyak pengeluaran.
Uang yang diperolehnya selama ini, sebagian dia tabung dan sebagiannya lagi digunakan untuk membeli sawah.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya