Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 16/04/2024, 12:00 WIB
Danur Lambang Pristiandaru

Penulis

KOMPAS.com - Sejak awal 2023, setidaknya 53 negara mengalami pemutihan terumbu karang massal akibat kenaikan suhu laut yang dipicu perubahan iklim.

Laporan tersebut disampaikan badan kelautan dan atmosfer AS yaitu National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) dan koalisi internasional International Coral Reef Initiative (ICRI).

NOAA dan ICRI menuturkan, dunia sedang mengalami peristiwa pemutihan terumbu karang global yang keempat, yang kedua dalam sepuluh tahun terakhir.

Baca juga: Dunia di Ambang Pemutihan Terumbu Karang Massal Keempat karena Perubahan Iklim

"Dari Februari 2023 hingga April 2024, pemutihan karang yang signifikan telah didokumentasikan di Belahan Bumi Utara dan Selatan di setiap cekungan laut utama," kata Koordinator Coral Reef Watch (CRW) NOAA Derek Manzello, sebagaimana dilansir Earth.org, Senin (15/4/2024).

Pemutihan karang secara massal tersebut terkait langsung dengan kenaikan suhu permukaan laut.

Bulan lalu, suhu permukaan laut mencapai rekor tertinggi yakni 21,07 derajat celsius, suhu bulanan tertinggi sejak pencatatan dimulai.

Pada 2023, suhu laut naik karena fenomena alami El Nino yaitu siklus menghangatnya suhu permukaan air di Samudra Pasifik bagian tengah.

Akan tetapi, meski El Nino mulai melemah pada 2024, suhu permukaan laut tetap mengalami tren kenaikan.

Direktur Potsdam Institute for Climate Impact Research Profesor Johan Rockstrom mengatakan, apa yang terjadi pada tahun 2023 tidak jauh berbeda dengan tahun 2016, tahun terpanas kedua yang pernah tercatat.

"Dan kemudian tahun 2024 dimulai, dan cuaca menjadi lebih hangat. Kami belum dapat menjelaskan (tren) ini dan hal ini membuat para ilmuwan yang berfokus tentang Bumi seperti saya menjadi sangat gugup," kata Rockstrom kepada Earth.org.

Baca juga: PBB Jajaki Mekanisme Asuransi Terumbu Karang di Kepulauan Gili

Menghilang cepat

Terumbu karang merupakan ekosistem yang sangat penting yang tersebar di lebih dari 100 negara dan wilayah dan mendukung setidaknya 25 persen spesies laut.

Terumbu karang juga merupakan bagian integral dalam mempertahankan jaringan keanekaragaman hayati laut yang luas dan saling terhubung serta memberikan jasa ekosistem senilai hingga 9,9 triliun dollar AS setiap tahunnya.

Terkadang, terumbu karang disebut sebagai "hutan hujannya lautan" karena kemampuannya sebagai penyerap karbon dengan menyerap kelebihan karbon dioksida di dalam air.

Sayangnya, terumbu karang kini menghilang dengan kecepatan yang mengkhawatirkan.

Menurut laporan terbaru dari Global Coral Reef Monitoring Network (GCRMN), dunia telah kehilangan sekitar 14 persen terumbu karang sejak 2009.

Terumbu karang memang bisa mengalami pemutihan secara alami dan biasanya dipicu oleh fenomena alami pula seperti El Nino.

Baca juga: Coral Triangle Bakal Punah, AIS Forum Bantu Pemulihan Terumbu Karang

Akan tetapi, meningkatnya suhu Bumi yang disebabkan oleh aktivitas manusia telah menyebabkan peristiwa pemutihan terumbu karang menjadi lebih sering dan lebih besar secara global.

Salah satu contoh pemutihan terumbu karang yang parah adalah Great Barrier Reef, sistem terumbu karang terbesar dan terpanjang di dunia yang terletak di lepas pantai Queensland, Australia.

Luas Great Barrier Reef sekitar 350.000 kilometer persegi, lebih besar dari gabungan wilayah Inggris dan Irlandia.

Great Barrier Reef mengalami enam peristiwa pemutihan massal pada 1998, 2002, 2016, 2017, 2020, dan 2024. Peristiwa pada 2016 dan 2017 sangat parah sehingga menyebabkan kematian 50 persen terumbu karang yang ikonik tersebut.

Selain di Australia, pemutihan terumbu karang juga terjadi di kawasan seperti Asia Selatan, Pasifik, Asia Timur, Samudra Hindia Bagian Barat, Teluk Arab, dan Teluk Oman.

Baca juga: BRI Insurance Manado Gelar Transplantasi Terumbu Karang di Taman Nasional Bunaken

Kerentanan ekosistem

Meskipun peristiwa pemutihan karang tidak secara otomatis mengakibatkan kematian karang, hal ini meningkatkan kerentanan ekosistem terhadap penyakit laut dan kelaparan, yang pada akhirnya dapat menyebabkan kematian.

Semakin lama karang mengalami pemutihan akibat berbagai tekanan, semakin sulit bagi alga untuk kembali.

"Ketika lautan di dunia terus menghangat, pemutihan karang menjadi lebih sering dan parah," kata Manzello.

Dia menambahkan, jika pemutihan terumbu karang cukup parah atau berkepanjangan, hal ini dapat menyebabkan kematian karang.

"(Kematian terumbu karab) dapat memberikan dampak negatif terhadap barang dan jasa yang dihasilkan oleh terumbu karang yang menjadi sumber penghidupan masyarakat," ucap Manzello.

NOAA dan ICRI menegaskan, data terbaru tersebut harus menjadi peringatan bagi negara-negara dan memerlukan respons segera di tingkat global, regional, dan lokal.

"Kami berada di garis depan dalam penelitian, pengelolaan, dan restorasi terumbu karang, serta secara aktif dan agresif menerapkan rekomendasi Laporan Intervensi 2019," kata Direktur Program Konservasi Terumbu Karang NOAA Jennifer Koss.

Baca juga: Jaga Warisan Alam Sanur, Danamon Gelar Konservasi Terumbu Karang

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com