KOMPAS.com- Menurut penelitian terbaru, tanpa adanya insentif pemerintah pun, pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) bakal jadi sumber energi paling dominan 2050.
Studi tersebut dilakukan oleh para peneliti dari University of Exeter and University College London dan diterbitkan di jurnal Nature Communication, 17 October 2023.
Penulis utama studi tersebut, Femke Nijsse, mengatakan PLTS bakal mendominasi bauran energi global pada pertengahan abad ini.
Baca juga: PLN Indonesia Power Kebut Pembangunan PLTS 500 MW
PLTS sendiri telah membangun momentum selama bertahun-tahun. Pada 2016, panel surya menjadi sumber energi termurah di lebih dari 60 negara.
Pada 2020, Badan Energi Internasional atau International Energy Agency (IEA) mengumumkan energi surya secara resmi merupakan listrik termurah dalam sejarah.
Bahkan, listrik dari PLTS lebih murah dibandingkan batu bara dan gas di sebagian besar negara besar, sebagaimana dilansir Science Alert.
Jika harga pembangkitan listrik dari PLTS terus menurun, Nijsse dan peneliti lainnya memprediksi panel surya akan melemahkan semua alternatif energi lainnya hanya dalam satu atau dua dekade.
Baca juga: Dalam 9 Tahun, Kapasitas Terpasang PLTS Global Melonjak 700 Persen
Pada 2020, bahan bakar fosil menghasilkan lebih dari 60 persen listrik secara global.
Pada 2050, model-model baru memperkirakan angka tersebut akan turun menjadi 21 persen. Sebagai perbandingan, PLTS akan menyumbang 56 persen produksi listrik di seluruh dunia.
"Bidang kebijakan serta keuangan harus bersiap menghadapi transisi disruptif yang cepat," tulis peneliti dalam studi tersebut.
Dalam lebih dari 70 persen simulasi yang dilakukan, PLTS akan menyumbang separuh dari pembangkitan listrik dunia pada 2050.
Baca juga: Australia di Ambang Tumpukan Limbah PLTS Jika Tak Ditangani dengan Baik
"Analisis kami menghasilkan bukti empiris kuantitatif, berdasarkan tren data terkini dan historis, bahwa titik kritis energi surya kemungkinan besar telah berlalu," tulis studi tersebut.
Karena titik kritis energi surya telah berlalu, dominasi PLTS tidak hanya mungkin terjadi, tetapi bakal tersebut.
Jika hal tersebut benar terjadi, Nijsse dan rekannya berpendapat bahwa dunia sekarang harus fokus pada pembukaan lahan bagi PLTS agar transisi energi berjalan semulus mungkin.
Sejauh ini, ada sejumlah hambatan dalam kemajuan PLTS yakni kurangnya pendanaan di negara-negara berpenghasilan rendah, jaringan listrik yang seimbang dan tangguh, meningkatnya ketergantungan pada logam mulia, seperti aluminium, dan penolakan politik dari menurunnya industri bahan bakar fosil.
Baca juga: Pertama di Indonesia, ITS Ciptakan Purwarupa PLTS Apung di Laut
Penolakan politik sangat penting karena tidak ada jaminan bahwa dominasi energi surya akan menjamin sistem nol karbon.
Meskipun Nijsse dan timnya berargumentasi bahwa proyeksi dasar yang didominasi bahan bakar fosil sudah tidak realistis lagi, terdapat peluang yang sangat nyata bahwa batu bara dan gas akan mampu bertahan.
"Kami menyimpulkan bahwa mencapai sistem tenaga listrik nol karbon kemungkinan memerlukan kebijakan yang berbeda dari yang selama ini dibahas oleh komunitas pemodelan energi," tulis para peneliti.
Harga karbon diperlukan untuk mencapai titik impas antara energi terbarukan dan bahan bakar fosil.
Baca juga: Perusahaan Budidaya Unggas Gunakan PLTS, Tekan 1.000 Ton Emisi Karbon
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya