Karena keseragaman standar ESG dan sistem pertukaran karbon yang diregulasi ketat dan jelas, pasar karbon di negara-negara maju seperti US, Jepang, Canada, Eropa, Korea, dan Singapura dapat berjalan dan memberikan insentif bagi pelaku pasar.
Untuk memenuhi kuota mereka, perusahaan multinasional bahkan sudah masuk ke Indonesia dalam rangka menangkap potensi pembelian karbon, baik dari bursa resmi atau bursa sukarela.
Namun dengan maraknya perdagangan karbon ini, satu isu yang perlu diperhatikan, yaitu isu greenwashing. Isu ini menjadi risiko utama yang paling dikhawatirkan dalam proses transisi ini.
Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa sustainability atau yang sekarang disebut dengan istilah Environmental Social Governance (ESG) atau Standard Lingkungan Sosial dan Tata Kelola (LST) telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kebijakan strategi korporasi.
Yang menjadi permasalahan adalah niat atau intensi di belakang dari operasi LST ini. Apakah hanya strategi untuk betul-betul menyelaraskan nilai dengan kepentingan publik atau memenuhi peraturan compliance atau bahkan pencitraan belaka?
Inilah salah satu alasan sedikit sekali perusahaan Indonesia yang mendapatkan status low risk di beberapa rating tingkat dunia.
Contoh Candra Asri dan Pertamina yang mendapatkan low risk setelah bertahun-tahun berusaha untuk mengurangi risiko pencemaran lingkungan dan berkontribusi terhadap sosial dan penerapan tata kelola yang baik.
Jika kita bandingkan dengan standar ESG di tingkat internasional, mereka lebih mementingkan perubahan dari sisi operasi agar dapat berkontribusi terhadap dampak lebih luas.
Hal ini membutuhkan komitmen politik dan legal dari pemerintah yang diikuti dengan transformasi dan inovasi para pemilik usaha dan pemegang saham agar prestasi LST melebihi dari status low risk di pelaporan disclosure.
Karenanya, bagi entitas yang mengadopsi penurunan emisi di luar dari cakupan bisnisnya, maka ESG harus diubah menjadi salah satu aksi untuk mengawali adaptasi dan mitigasi risiko-risiko dari perubahan iklim yang cenderung memiliki faktor lebih panjang.
Proses transisi berikutnya adalah bagaimana mengubah ESG menjadi Climate Action.
Tiga faktor kunci antara lain peningkatan standard ESG, pembiayaan masa transisi, dan kepastian regulasi dari pemerintah.
Dari sisi peningkatan standard ESG, sangat dibutuhkan agar pemerintah dan sektor swasta dapat memobilisasi investasi luar negeri.
Cakupan aksi ESG perusahaan harus lebih luas dari cakupan wilayah operasi karena sekali kena dampak seperti bocornya kapal tanker minyak, polusi limbah, akuisisi lahan, efeknya luas sekali terhadap lanskap kewilayahan.
Jalur climate action lainnya adalah memperluas praktik elemen S dan G. Salah satu contoh elemen S, intervensi dapat diperluas mencakup proses transisi SDM sekitar dan di luar wilayah operasi dalam bentuk reskilling, upskilling dalam rangka transisi penghidupan bagi masyarakat terdampak terutama kelompok marginal, perempuan dan anak-anak.
Kemudian elemen G, diwujudkan dengan penyediaan variasi pembiayaan hijau untuk mendorong inovasi UMKM agar dampak dapat lebih berkelanjutan dan masyarakat yang terbantu dapat menjadi lebih mandiri dalam mengelola inisiasi sosial ekonomi.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya