Dengan pendekatan di atas, terlihat ESG mengubah visi perusahaan untuk tidak hanya mempraktikkan safeguards hanya dalam koridor core business, namun juga mengadopsinya di luar wilayah operasi sehingga memberikan dampak di luar dari wilayah operasi.
Khusus kepastian regulasi pemerintah, hal ini haruslah menjadi salah satu agenda politik ekonomi yang sangat penting untuk diusung oleh kabinet baru. Hanya dengan menggunakan pembiayaan hijau untuk mendanai transisi, barulah tujuan Net Zero dapat tercapai.
Contoh komitmen pembiayaan dari perhelatan G-20 melalui Just Energy Transition Partnership (JETP) masih ditunggu bentuk konkretnya. Sama halnya dengan komitmen pembiayaan hasil dari World Water Forum yang baru saja berakhir.
Pembiayaan transisi juga dapat dimobilisasi oleh regulator, khususnya Kementerian Keuangan, Otoritas Jasa keuangan, dan Bank Indonesia serta Kementerian kelembagaan terkait sudah dapat memberikan kepastian dari sisi pembiayaan.
Sumber pembiayaan domestik seperti dana reksa, dana pensiun serta peningkatan kapasitas perbankan agar lebih banyak mengeluarkan produk pembiayaan bauran (blended finance) sehingga sektor swasta dapat berpartisipasi dalam inovasi produk dan layanan hijau.
Terakhir, kepastian regulasi penjualan karbon dan regulasi penukaran karbon serta pajak karbon juga harus dipastikan dengan monitoring indikator ESG yang lebih menyeluruh dengan insentif yang jelas dari pemerintah.
Dengan strategi pendekatan ini, maka niscaya ekosistem pembiayaan hijau di Indonesia lebih terakselerasi dan dapat membuka lebih banyak kesempatan dan lapangan pekerjaan bagi generasi baru yang berkelanjutan.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya