KOMPAS.com - Aset bahan bakar fosil yang mangkrak dalam proses transisi energi menjadi salah satu risiko yang perlu diantisipasi.
Salah satu aset mangkrak dari energi fosil adalah pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara, salah satu kontributor emisi gas rumah kaca (GRK) terbesar.
Analis Senior Institute for Essential Services Reform (IESR) Farid Wijaya mengatakan, aset mangkrak dapat berupa bangunan, peralatan, permesinan, transportasi, logistik, serta aktivitas industri yang bergantung pada bahan bakar fosil.
Baca juga: Bahan Bakar Fosil di Sumsel Masih Dominan, Energi Terbarukan Minim
Farid menyampaikan, di Indonesia aset mangkrak diperkirakan berupa proses hulu industri bahan bakar fosil.
Beberapa faktor yang menyebabkan aset mangkrak seperti pembatasan penggunaan bahan bakar fosil, penetapan harga karbon, kenaikan harga, serta perubahan ke energi terbarukan.
Farid menuturkan, aset mangkrak dapat diminimalisasi dengan pembuatab peta jalan energi terbarukan.
Mengutip kajian IRENA, pembuatan peta jalan transisi energi dengan yang rinci dapat memberikan gambaran yang jelas mengenai langkah yang perlu diambil oleh para pemangku kepentingan.
"Beberapa mitigasi risiko juga perlu dilakukan dalam transisi energi," kata Farid dilansir dari situs web IESR, Jumat (31/5/2024).
Baca juga: 4 Proyek Energi Hijau PLN Bakal Beroperasi Tahun Depan
Pertama, pemetaan dan analisis dari risiko. Contohnya pemetaan kerangka kebijakan, peta jalan dan strategi nasional dan dampaknya terhadap aset.
Kedua, analisa dan konseptualisasi opsi mitigasi. Misalnya saja memahami nilai aset keseluruhan.
Ketiga, mengidentifikasi faktor penentu atau key enabler mengatasi risiko aset mangkrak.
Menurut Farid, penggunaan gas bumi bisa menjadi alternatif jangka pendek hingga menengah dalam memanfaatkan aset yang berpotensi mangkrak.
Mengutip data IRENA, gas bumi diperkirakan akan tetap digunakan hingga 2050 sebanyak hampir 7 persen dari total komoditas perdagangan energi.
Baca juga: Lebih Hemat Energi, 55 Lampu Tenaga Surya Hadir di Wilayah Sumenep
Pengembangab teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon atau carbon capture storage and utilization (CCUS) bisa diterapkan.
CCUS dapat menangkap emisi karbon baik pembakaran pada pembangkit listrik tenaga gas dan uap (PLTGU) atau produksi hidrogen biru, dengan penangkapan karbon mencapai di atas 95 persen.
Farid menggarisbawahi keterbatasan dari segi kebijakan dan regulasi karena masih berbasis bahan bakar fosil dengan performa yang harus dikontrol secara ketat.
"Selain itu, konservasi energi menjadi bagian penting dalam upaya dekarbonisasi yang perlu diadopsi karena mudah dilakukan dan minim biaya," kata Farid.
Farid menilai, konservasi energi perlu dilaksanakan pada seluruh tahap pengelolaan energi.
Hal tersebut meliputi pengelolaan sisi hulu yang bertujuan untuk melestarikan sumber daya energi dan pengelolaan sisi hilir yang bertujuan untuk meningkatkan efisiensi energi.
Baca juga: Efisiensi Energi Global Perlu Naik 2 Kali Lipat pada 2030
Kami mengundang perusahaan yang memiliki program keberlanjutan dan menginspirasi publik untuk mendukung akselerasi pencapaian SDGs di Indonesia. Kunjungi Lestari Awards 2024
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya