KOMPAS.com - Dua program mercusuar Indonesia, yakni bebas emisi dan hilirisasi, dinilai tidak koheren dan justru saling mengganggu karena masih adanya bahan bakar fosil.
Temuan tersebut mengemuka dalam laporan riset Transisi Bersih dan Indonesia Cerah berjudul Hilirisasi Industri Nikel, Nilai Tambah Ekonomi, dan Indonesia Bebas Emisi 2060.
Dalam program bebas emisi, Indonesia menargetkan dapat mencapai net zero emission (NZE) pada 2060.
Baca juga: Hilirisasi Nikel Berdampak Serius terhadap Masyarakat Maluku Utara
Sedangkan program hilirisasi mineral, terutama nikel, merupakan upaya pemerintah untuk meningkatkan nilai tambah ekonomi dan mendorong pertumbuhan ekonomi.
Direktur Eksekutif Transisi Bersih Abdurrahman Arum mengatakan, sayangnya program hilirisasi nikel dan mineral terus mengandalkan energi fosil untuk membangun smelter dan industri lanjutannya.
"Program kedua (hilirisasi) menambah emisi. Sedangkan program pertama (bebas emisi) mengurangi emisi," kata Abdurrahman dalam peluncuran laporan tersebut yang diikuti secara daring, Kamis (27/6/2024).
Pesatnya pembangunan smelter untuk hilirisasi saat ini ditambah ketergantungan terhadap energi fosil memacu perkembangan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara captive.
Kapasitas terpasang PLTU batu bara captive yang semula 1,4 gigawatt pada 2023, kni meningkat pesat menjadi 10,8 GW pada 2023.
Baca juga: Luhut Ungkap Proyek Hilirisasi Rumput Laut, Klaim Nilai Impor Rp 303,8 Triliun pada 2030
Sedangkan masih ada rencana penambahan 14,4 GW PLTU batu bara captive untuk memberi tenaga smelter-smelter guna hilirisasi mineral.
"Jika semua terbangun, kapasitas PLTU captive akan mencapai 25,5 GW," tutur Abdurrahman.
Bila dibandingkan, angka tersebut setara 72 persen dari total kapasitas terpasang PLTU on-grid sebesar 34,8 GW gabungan milik PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) dan swasta. Di satu sisi, upaya pengurangan PLTU on-grid sedang dilakukan.
"Tapi di saat bersamaan, ada penambahan PLTU captive. Program Indonesia bebas emisi sepertinya akan gagal," ujar Abdurrahman.
Kebijakan hilirisasi dan nol emisi sebenarnya sama-sama esensial. Untuk itu, energi fosil harus dihapus dalam hilirisasi dan menggantinya dengan energi bersih, agar kedua program menjadi koheren.
Baca juga: Punya Potensi Besar, ASEAN Ditargetkan Jadi Pusat Industri Hilirisasi
"Dengan menggunakan energi bersih, maka program hilirisasi dapat membantu pendanaan program Indonesia bebas emisi," tutur Abdurrahman.
Selain itu, dengan menggunakana energi bersih dalam hilirisasi, hubungan kedua program akan selarah bahkan menjadi simbiosis mutualisme.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya