Dalam buku tersebut, juga dikatakan bahwa jumlah serangga telah berkurang 75 persen selama 50 tahun terakhir. Konsekuensinya, dapat memicu berbagai bencana besar tadi.
Selain menyampaikan pesan tentang keadaan kritis populasi serangga dan konsekuensi potensial yang luas bagi Planet Bumi, Arifin menyoroti pentingnya tindakan segera untuk mengatasi tantangan lingkungan, sehingga dapat memperlambat terjadinya kiamat prematur.
"Kiamat serangga adalah tanda bahaya bahwa jika manusia tidak segera mengambil tindakan untuk melindungi dan melestarikan serangga, masa depan bumi bisa sangat terganggu, dengan dampak negatif bagi keanekaragaman hayati, pertanian, dan kehidupan manusia secara umum,” papar Arifin.
Sebagai paragraf penutup, pilihan judul “Narasi Ekologi: Kiamat Serangga dan Masa Depan Bumi” disebut memberikan perspektif lebih jauh.
Bahwa, semua pihak harus mengurai peran-peran strategis dan vital seluruh komponen penduduk bumi, yang secara filosofi, ekologi, biologi, virologi, atau geologi selama ini mungkin terlalu berjarak dengan realitas alam hari ini.
Oleh karena itu, “Kiamat Serangga” memang mengisyaratkan bahwa bumi ini harus segera diselamatkan.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya