JAKARTA, KOMPAS.com - Organisasi masyarakat sipil Kalyanamitra menilai adanya distorsi atau penyimpangan keterwakilan perempuan dalam Pemilu 2024, karena tidak memenuhi kuota 30 persen sesuai aturan undang-undang.
Ketua Kalyanamitra Listyowati mengatakan, secara umum, persentase keterwakilan perempuan dalam Pemilu DPR Tahun 2024 meningkat menjadi 22,1 persen, dibandingkan pada tahun 2019 yang sebesar 20,5 persen.
“Namun, pada Pemilu 2024, 17 partai dari 18 partai nasional tidak memenuhi syarat keterwakilan perempuan 30 persen pada setiap dapil berdasarkan UU 7 Tahun 2017,” ujar Listyowati atau Lilis, saat diskusi publik di Jakarta, Senin (1/7/2024).
Menurutnya, masih terdapat ketimpangan yang cukup tinggi antara perempuan dan laki-laki, sejak pemilu diadakan pada 2009 lalu. Dari total 580 anggota DPR RI tahun 2024, anggota perempuan saat ini hanya berjumlah 128 orang, atau sekitar 22,1 persen.
Baca juga: Peragaan Kebaya Lintas Generasi Kowani: Kebaya Pemersatu Perempuan Indonesia
“Berdasarkan data Perludem, data keterwakilan perempuan di DPR dari 2009-2024 belum ada yang mencapai tahapan 30 persen di DPR RI,” imbuhnya.
Padahal, sejumlah aturan baik internasional maupun nasional secara jelas telah mengatur kuota 30 persen perempuan dalam politik, sekaligus memberikan penegasan partisipasi perempuan dan larangan diskriminasi gender.
Seperti Pasal 245 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu mengatur bahwa daftar bakal calon memuat keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen.
Selain itu, negara juga menerapkan zipper system yang diatur dalam Pasal 246 ayat (2) bahwa di dalam daftar bakal calon, setiap tiga orang bakal calon terdapat paling sedikit satu orang perempuan bakal calon.
Kemudian, pasal 46 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, menyatakan bahwa sistem pemilihan umum, kepartaian, pemilihan anggota badan legislatif, dan sistem pengangkatan bidang eksekutif, yudikatif harus menjamin keterwakilan wanita sesuai persyaratan yang ditentukan.
Wakil Ketua Komnas Perempuan RI Olivia Chadidjah Salampessy mengatakan, distorsi keterwakilan perempuan dalam politik ditunjukkan dalam banyak hal. Hal ini terkait dengan masih banyaknya kekerasan dan ketimpangan gender dalam politik.
Baca juga: Perempuan dan Anak Jadi Kelompok Paling Terdampak Perubahan Iklim
"Dari pengajuan dan pemantauan Komnas Perempuan, masih terdapat penolakan dan hambatan sosial, budaya, dan politik, baik di tingkat partai politik, negara, maupun masyarakat, terhadap kepemimpinan perempuan," ujar Olivia.
Hambatan tersebut di antaranya, intimidasi, pencurian suara, penyerangan seksual, pemecatan terhadap calon perempuan terpilih, hingga penolakan karena jenis kelamin perempuan.
"Juga hadirnya aturan yang mereduksi kebijakan afirmasi dan tidak mendorong tata pemerintahan yang bebas dari kekerasan terhadap perempuan," tuturnya.
Mulai dari kuota aturan afirmasi 30 persen yang tidak dipenuhi oleh partai politik di beberapa daerah, serta nomor urut calon perempuan sengaja dibuat tidak menguntungkan sehingga berpeluang kecil untuk terpilih.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya