Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kementerian ESDM Akui Mayoritas Smelter di RI Masih Andalkan Batu Bara

Kompas.com - 05/07/2024, 12:00 WIB
Danur Lambang Pristiandaru

Penulis

KOMPAS.com - Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif mengatakan, pembangunan fasilitas pemurnian mineral atau smelter memiliki tantangan, khususnya dalam penyediaan tenaga listriknya.

Dia mengatakan, tenaga listrik yang dibutuhkan untuk smelter sangat besar.

Arifin mengakui, mayoritas smelter di Indonesia saat ini mengandalkan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara sebagai pemasok listriknya.

Baca juga: Gandeng Milenial Indonesia Menanam, PT GNI Targetkan 1 Juta Penamanan Pohon di Area Smelter

Di satu sisi, PLTU batu bara menghasilkan emisi gas rumah kaca yang sangat besar.

"Di Sulawesi sendiri, smelter yang ada di sini, mengonsumsi kurang lebih 20 GW (gigawatt), dan itu didominasi dari batubara," kata Arifin dikutip dari siaran pers, Rabu (3/7/2024).

Arifin melanjutkan, hal tersebut menjadi tantangan bagi industri smelter, karena sekarang dunia menuntut produk-produk yang merupakan hasil dari pemanfaatan energi bersih.

"Negara Eropa sudah berpacu untuk mendorong pemakaian energi bersih dan sudah mulai menerapkan mekanisme yang disebut cross border carbon mechanism. Nanti di situ ada masalah perpajakan emisi gas karbon dioksida ke depan," imbuhnya.

Arifin menambahkan, dalam cross border carbon mechanism nantinya akan ada pengenaan pajak karbon.

Baca juga: Smelter Freeport di Gresik Gunakan Sertifikat Energi Terbarukan PLN

Sehingga produk industri dalam negeri akan terbebani dengan pajak karbon tersebut serta akan menjadi mahal dan tidak kompetitif.

Saat ini, kata Arifin, pemerintah sedang menyusun rencana untuk menyediakan tenaga listrik dengan emisi karbon yang rendah.

Di satu sisi, Direktur Eksekutif Transisi Bersih Abdurrahman Arum menyayangkan program hilirisasi mineral terus mengandalkan energi fosil untuk membangun smelter dan industri lanjutannya.

Dia menyampaikan, jika semua terbangun, kapasitas PLTU captive untuk proyek smelter akan mencapai 25,5 GW.

Bila dibandingkan, angka tersebut setara 72 persen dari total kapasitas terpasang PLTU on-grid sebesar 34,8 GW gabungan milik PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) dan swasta. Di satu sisi, upaya pengurangan PLTU on-grid sedang dilakukan.

Baca juga: Kecelakaan Kerja Berulang di Smelter Nikel, Walhi: Pemerintah Abai

Proyeksi tersebut membuat program hilirisasi mineral di Indonesia, terutama nikel, tidak koheren dengan target net zero emission (NZE) yang berupaya menekan emisi.

Abdurrahman menuturkan, kebijakan hilirisasi dan nol emisi sebenarnya sama-sama esensial. Untuk itu, energi fosil harus dihapus dalam hilirisasi dan menggantinya dengan energi bersih, agar kedua program menjadi koheren.

"Dengan menggunakan energi bersih, maka program hilirisasi dapat membantu pendanaan program Indonesia bebas emisi," tutur Abdurrahman dalam peluncuran laporan berjudul Hilirisasi Industri Nikel, Nilai Tambah Ekonomi, dan Indonesia Bebas Emisi 2060, Kamis (27/6/2024).

Selain itu, dengan menggunakan energi bersih dalam hilirisasi, hubungan kedua program akan selarah bahkan menjadi simbiosis mutualisme.

Baca juga: Tungku Smelter ITSS Meledak, Walhi Desak Produksi IMIP Disetop

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com