KOMPAS.com - Kombinasi perubahan iklim dan pertumbuhan populasi dunia dapat mengancam ketahanan pangan dunia.
Dalam 60 tahun mendatang, populasi dunia akan melonjak dari 8,2 miliar jiwa menjadi 10,3 miliar jiwa pada tahun 2080-an.
Sebagian besar pertumbuhan populasi akan terjadi di Afrika, di mana banyak negara masih memiliki tingkat fertilitas yang tinggi.
Dana Kependudukan PBB mengatakan, perubahan iklim diperkirakan akan memperburuk kesenjangan global dan memicu migrasi nasional dan internasional.
Sejumlah badan di PBB menyatakan, saat ini 1 miliar dari 1,3 miliar orang yang tinggal di Afrika berjuang untuk mendapatkan makanan yang sehat dan kelaparan semakin memburuk antara tahun 2019 hingga 2022.
Baca juga: Wapres Pesan 3 Upaya Atasi Perubahan Iklim, Dorong Riset dan Teknologi
Lahan pertanian di Afrika telah menyusut akibat kekeringan yang berkepanjangan, sementara pertumbuhan populasi menyebabkan semakin sedikitnya ruang untuk bertani.
Chris Ojiewo, ilmuwan utama di International Maize and Wheat Improvement Center, mengatakan para petani Afrika perlu memproduksi banyak makanan di lahan yang sempit untuk memberi makan populasi yang terus bertambah.
"Kita bahkan tidak bisa memikirkan cara yang manusiawi atau cara yang etis untuk menghentikan pertumbuhan populasi. Jadi biarlah pertumbuhan penduduk bertambah, tapi biarkan kita mampu menghasilkan lebih banyak dalam wilayah kecil," kata Ojiewo, sebagaimana dilansir VOA, Kamis (11/7/2024).
Berbicara pada sebuah konferensi di Meksiko pekan ini, Ann Vaughan, wakil asisten administrator Badan Pembangunan Internasional AS, mengatakan berbagai penelitian ilmiah dan teknologi dapat membantu petani mengatasi perubahan iklim.
Berbagai hasil dari penelitian juga dapat membantu petani dalam membudidayakan beragam tanaman.
Baca juga: China Bersiap Hadapi Musim Panas Ekstrem, Perubahan Iklim Jadi Biang Keladi
Di beberapa negara Afrika, dominasi tanaman jagung sebagai sumber pangan utama telah menimbulkan kekhawatiran para ahli.
Di satu sisi, tanaman pertanian bergantung pada hujan. Sedangkan perubahan iklim menyebabkan pola curah hujan yang tidak dapat diprediksi.
Petani Afrika harus mengubah kapan dan apa yang mereka tanam untuk menghasilkan pangan yang cukup.
"Memastikan produksi dan produktivitas terus berlanjut, baik di musim atau di luar musim, tidak berarti bergantung 100 persen pada pertanian tadah hujan," kata Ojiewo.
Dia menekankan pentingnya menerapkan diversifikasi pangan agar penduduk tak hanya bergantung kepada satu jenis tanaman saja untuk kelangsungan hidupnya.
Karena meningkatnya kekeringan di beberapa negara Afrika, para petani didesak untuk menanam tanaman seperti singkong, sorgum, kacang gude, dan millet mutiara, yang tahan terhadap kondisi yang tidak dapat diprediksi.
Baca juga: Perempuan dan Anak Jadi Kelompok Paling Terdampak Perubahan Iklim
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya