KOMPAS.com - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengesahkan Rancangan Undang-undang tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (RUU KSDAHE), Selasa (9/7/2024).
Pengesahan diputuskan dalam rapat paripurna ke-21 DPR RI Masa Persidangan V Tahun Sidang 2023-2024.
Di sisi lain, Greenpeace Indonesia menilai ada sederet masalah dalam proses formil maupun substansi UU KSDAHE.
Baca juga: Konservasi Terumbu Karang, YKAN Rilis Koralestari di Kaltim dan NTT
Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia Sekar Banjaran Aji mengatakan, secara formil, proses pembahasan rancangan UU KSDAHE sangat minim pelibatan masyarakat.
"Pembahasan rancangan UU KSDAHE tak berjalan transparan. Sejumlah organisasi masyarakat sipil kesulitan untuk memonitor prosesnya," kata Sekar dikutip dari siaran pers, Kamis (11/7/2024).
Dia menambahkan, pemerintah dan DPR patut ditengarai telah mengabaikan partisipasi publik yang bermakna dalam proses penyusunan dan pembahasan RUU KSDAHE.
Secara substansi, UU KSDAHE juga bermasalah karena masih menggunakan paradigma lama yang mengeksklusi atau memisahkan masyarakat adat dan komunitas lokal dalam pelindungan ekosistem.
Baca juga: DPR Sahkan Revisi UU Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem
Pemerintah dan DPR dinilai tak mengakomodasi usulan masyarakat sipil agar memastikan adanya pengakuan, partisipasi, dan pelindungan masyarakat adat dan komunitas lokal dalam UU KSDAHE.
Kendati ada pasal yang menyebut peran serta masyarakat, termasuk masyarakat adat, proses itu dinilai Greenpeace Indonesia sebagai formalitas belaka.
Proses penetapan kawasan konservasi dalam UU KSDAHE bersifat sangat sentralistik karena berada di bawah kewenangan pemerintah pusat.
Hal tersebut berpotensi memicu konflik dengan masyarakat setempat yang kehilangan ruang hidup dan tempat beraktivitas.
Baca juga: Mengenal Program Lautra, Upaya Kelola Kawasan Konservasi Perairan RI
Watak yang sentralistik ini diperparah dengan pasal-pasal sanksi pidana dalam UU KSDAHE terhadap perorangan, yang berpotensi menambah deret panjang kriminalisasi warga.
Prinsip konservasi seharusnya mengacu pada Konvensi Keanekaragaman Hayati (Convention of Biological Diversity)–yang telah diratifikasi pemerintah Indonesia dalam UU Nomor 5 Tahun 1994.
Konvensi ini mengatur, negara mestinya mengakui ketergantungan yang erat dan berciri tradisional sejumlah masyarakat asli dan masyarakat setempat, yang berkaitan dengan konservasi keanekaragaman hayati dan pemanfaatannya secara berkelanjutan.
Diberitakan Kompas.com sebelumnya, ada beberapa perubahan dalam UU KSDAHE yang telah disepakati, sebagaimana dikutp dari situs web DPR RI.
Baca juga: Studi: Warga Pesisir Dekat Area Konservasi Masih Kurang Sejahtera
Di antaranya yakni penambahan satu bab yakni BAB VIIIA tentang pendanaan dan perubahan terhadap BAB IX tentang peran serta masyarakat.
Selain itu, RUU tersebut menghapus BAB X tentang penyerahan urusan dan tugas pembantuan, penambahan delapan pasal baru, serta perubahan terhadap 17 pasal.
Wakil Ketua Komisi IV DPR RI Budisatrio Djiwandono meminta pemerintah melakukan sosialisasi setelah RUU tersebut diundangkan.
"Selain itu, Komisi IV DPR RI meminta agar peraturan pelaksanaan yang diamanatkan dalam undang-undang ini dapat segera diterbitkan," ujar Budisatrio dari Fraksi Partai Gerindra itu.
Baca juga: Kulonprogo Kembangkan Program Konservasi Air Berkelanjutan
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya