KOMPAS.com - Lembaga think tank Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) merekomendasikan pemerintah membuat prosedur pengadaan proyek energi yang lebih jelas dan ringkas.
Analis Keuangan Energi IEEFA Mutya Yustika mengatakan, langkah tersebut perlu dilakukan untuk menarik minat investor.
"Investor swasta akan tertarik masuk ke pasar energi terbarukan Indonesia jika ada prosedur pengadaan yang jelas dan ringkas, sekaligus pelaksanaan regulasi yang konsisten dan dapat dipercaya," kata penulis Mutya sebagaimana dilansir Antara, Selasa (23/7/2024).
Baca juga: Dari Sabang sampai Merauke, Desa Energi Berdikari Berjumlah 86
Dia menambahkan, IEEFA merekomendasikan pemerintah Indonesia menetapkan prosedur pengadaan proyek energi terbarukan yang transparan dan jelas.
Prosedur tersebut juga perlu didukung oleh syarat dan ketentuan yang seimbang secara komersial.
Menurut Mutya, langkah tersebut dapat memberi kepastian bagi investor swasta potensial dan memastikan Indonesia mampu mencapai target dekarbonisasi.
Mutya menjelaskan, perbaikan tersebut diperlukan lantaran investasi energi terbarukan di Indonesia cenderung stagnan dalam tujuh tahun terakhir.
Baca juga: Khawatir Pajak Karbon Negara Kaya, Afrika Selatan Serukan Transisi Energi Hijau Secepatnya
Padahal, Indonesia memiliki sumber daya yang besar dan pertumbuhan ekonomi yang kuat.
Pada 2023, Indonesia membukukan investasi 1,5 miliar dollar AS yang setara tambahan kapasitas energi terbarukan 574 megawatt (MW).
Mutya menyampaikan, Indonesia jauh tertinggal dari negara-negara tetangga di Asia Tenggara yang telah memiliki kapasitas pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) dan pembangkit listrik tenaga bayu (PLTB) cukup besar.
"Sebagai contoh, Vietnam telah memiliki kapasitas energi surya hingga 13.035 MW dan angin 6.466 MW," ucapnya.
Baca juga: Transisi Energi Berkeadilan di RI Butuh Konteks dan Konsep yang Jelas
Laporan yang dirilis IEEFA mengidentifikasi ada sejumlah hambatan yang menurunkan minat investor membiayai proyek energi terbarukan di Indonesia.
Pertama, kewajiban bekerja sama dengan PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) dan anak usahanya dengan kepemilikan saham mayoritas 51 persen.
Kedua, pemerintah Indonesia melarang pengalihan kepemilikan saham proyek energi terbarukan sebelum proyek beroperasi secara komersial sejak 2017.
Ketiga, untuk meringankan beban keuangan PLN, pemerintah menetapkan skema delivery-or-pay dengan volume energi terkontrak yang harus diproduksi proyek energi terbarukan setiap tahunnya.
Baca juga: China Jawara Pengembangan Energi Terbarukan Global, Getol Bangun PLTS dan PLTB
"Dengan skema ini, investor swasta akan dikenai penalti jika tidak berhasil memenuhi persyaratan ketersediaan atau kapasitas energi yang harus dihasilkan," kata Mutya.
Keempat, meski banyak desakan untuk penerapan feed in tariff atau pemerintah justru menetapkan skema tarif batas atas (ceiling tariff) untuk energi terbarukan.
“Hambatan lainnya, tidak ada transparansi dalam proses lelang proyek energi terbarukan yang digelar PT PLN, yakni melalui penunjukan langsung dan pemilihan langsung,” kata Mutya.
Baca juga: Konsumsi Energi RI pada 2023 Tertinggi dalam 6 Tahun Terakhir
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya