Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 17/07/2024, 14:00 WIB
Danur Lambang Pristiandaru

Penulis

KOMPAS.com - Presiden Afrika Selatan Cyril Ramaphosa memperingatkan negara-negara berkembang lainnya bahwa penerapan pajak karbon oleh negara-negara kaya akan merugikan perekonomian mereka.

Kecuali, kata Ramaphosa, mereka bertindak cepat untuk membuang bahan bakar fosil dan beralih ke energi hijau.

Hal tersebut disampaikan Ramaphosa dalam konferensi perubahan iklim yang digelar Departemen Keuangan Nasional dan Bank Dunia, Senin (15/7/2024).

Baca juga: Transisi Energi Berkeadilan di RI Butuh Konteks dan Konsep yang Jelas

Sampai saat ini, Afrika Selatan masih sangat bergantung terhadap batu bara untuk menyuplai kebutuhan listrik nasional.

Dia mengakui, intensitas karbon dalam perekonomian Afrika Selatan sangat tidak berkelanjutan, sebagaimana dilansir Reuters.

"Selama beberapa dekade ketergantungan kita pada batu bara memungkinkan kita memproduksi listrik dengan biaya murah. Namun dunia telah berubah dan ketergantungan ini telah menimbulkan risiko yang signifikan," kata Ramaphosa.

Dia menambahkan, mekanisme pajak karbon Uni Eropa yakni Carbon Border Adjustment Mechanism atau CBAM berpotensi akan merugikan negara-negara berkembang yang masih sangat bergantung terhadap energi fosil.

Baca juga: Dunia Terancam Meleset Capai 3 Kali Lipat Energi Terbarukan pada 2030

Data dari lembaga think tank Ember menunjukkan, Afrika Selatan adalah negara dengan perekonomian besar yang paling intensif karbon.

Pada 2022, negara ini menghasilkan 709 gram karbon dioksida per kilowatt-jam (kWh) dari pembangkitan energi listriknya.

Hal ini menempatkan negara ini dalam 15 negara penghasil emisi gas rumah kaca (GRK) terbesar di dunia menurut lembaga pengawas Climate Transparency.

Ramaphosa juga menyoroti dampak perubahan iklim terhadap negara-negara berkembang akibat penggunaan energi fosil di masa lampau.

Baca juga: China Jawara Pengembangan Energi Terbarukan Global, Getol Bangun PLTS dan PLTB

"Negara-negara Selatan paling merasakan dampak perubahan iklim, meski secara historis mereka paling tidak bertanggung jawab atas emisi global," ucapnya.

Pekan lalu, Menteri Energi Afrika Selatan berjanji untuk mempercepat transisi ke energi terbarukan.

Namun hanya sedikit rincian yang diketahui mengenai bagaimana upaya tersebut akan terjadi.

Negara ini memiliki sumber energi matahari dan angin terbaik di dunia. Namun penundaan birokrasi selama bertahun-tahun dalam pemberian izin dan ketidakpastian kebijakan telah mematikan investor.

Tahun lalu, Pemerintah Afrika Selatan menunda penutupan delapan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara hingga tahun 2030, dengan alasan keamanan energi.

Baca juga: PLN Didorong Fokus Transmisi Listrik, Swasta dan BUMN Pembangkit Energi Terbarukan

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau