Dengan pemanfaatan benih bioteknologi ini, kata dia, potensi kehilangan hasil pertanian bisa ditekan hingga 10 persen. Artinya, ada peningkatan produksi panen yang signifikan bagi petani di lahan terbatas.
Sebagai informasi, meski kebutuhan akan bioteknologi terbukti cukup besar, pengembangan benih unggul di Indonesia bisa dibilang terlambat dibanding negara lain.
Proses perizinan, pengembangan, hingga komersialisasi benih PRG di Indonesia rata-rata memakan waktu sekitar 15 tahun. Hal ini diungkap oleh Direktur Eksekutif CropLife Indonesia Agung Kurniawan.
Menurutnya, sampai dengan tahun ini, baru ada 10 varietas benih bioteknologi yang mendapat persetujuan penggunaannya. Itu pun masih dalam skala terbatas.
Baca juga:
“Regulasi yang ketat masih jadi kendala utama para peneliti di lapangan. Ditambah, ada kemungkinan ketika benih tersebut berhasil dikomersialisasi, tantangan yang dihadapi para petani sudah berubah. Padahal dari sisi petani, mereka sudah sangat antusias dan siap untuk mengadopsi teknologi ini secepatnya,” jelasnya.
Agung mencontohkan keberhasilan beberapa negara Asia, seperti Vietnam dan Filipina, yang telah mengadopsi bioteknologi dan mengalami peningkatan produksi pertanian hingga 30 persen.
Pencapaian tersebut menunjukkan potensi besar bioteknologi dalam memperkuat ketahanan pangan dan kesejahteraan petani.
"Kami berharap sinergi antara berbagai pihak ini dapat mendorong pengembangan dan komersialisasi benih bioteknologi di pasar, sehingga para petani dapat merasakan dampak positif yang sama seperti di negara-negara lain," pungkas Agung.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya