ALKISAH, di ruang angkasa yang sangat luas, hiduplah spesies reptil cerdas bernama Zorgon. Mereka berkelana di antariksa dengan pesawat ulang-alik canggih, mencari apa pun yang bisa dibakar untuk dijadikan energi.
Zorgon adalah makhluk yang rakus energi. Mereka bahkan rela membakar planet sendiri untuk dijadikan sumber energi karena tidak ada lagi yang bisa dibakar di sana.
Kelakuan itu membuat mereka menjadi makhluk terkutuk, terusir dari planet mereka atas ulahnya sendiri. Zorgon akhirnya menjadi "gelandangan" antariksa yang mencari apa pun untuk dibakar agar menjadi energi.
Penggalan cerita tersebut merupakan bagian dari film Zathura yang dirilis pada 2005 lampau. Saya menontonnya ketika masih bocah. Adegan Zorgon membakar planetnya sendiri sangat membekas di ingatan.
Ada satu pertanyaan yang membuat saya sangat penasaran kala itu. Bagaimana bisa membakar sesuatu bisa menghasilkan energi hingga Zorgon begitu tega sampai membakar planetnya sendiri?
Semakin dewasa, pertanyaan tersebut terjawab dengan sendirinya. Membakar adalah upaya pembangkitan energi yang terbukti paling stabil, andal, dan paling mudah.
Dengan membakar, manusia bisa menghasilkan listrik yang bisa dipakai untuk apa saja. Sebut apa aktivitasnya, semua bisa dilakukan dengan listrik.
Kita bisa memasak nasi tanpa memakai api di rumah, kita bisa mengeringkan rambut tanpa perlu bau sangit, kita bisa membuat es meski di iklim tropis, atau kita bisa masuk rumah yang dingin saat udara sedang terik-teriknya membakar kulit.
Tak hanya listrik, industri juga memanfaatkan pembakaran untuk menggerakkan mesin-mesin mereka. Bahkan Eropa bisa semaju sekarang karena mereka melakukan pembakaran lebih dulu di perindustrian mereka.
Selain itu, transportasi yang mempermudah kehidupan manusia saat ini juga memanfaatkan sistem pembakaran.
Dan mayoritas bahan bakar yang dimanfaatkan untuk menghasilkan energi di dunia ini, sekaligus menggerakkan perekonomian global, berasal dari dalam perut bumi: batu bara, minyak, dan gas bumi --biasa disebut bahan bakar fosil.
Namun di balik semua kemudahan dan kenyamanan dari keseluruhan proses pembakaran untuk menghasilkan energi, ada konsekuensi besar yang menanti di depan mata: kenaikan suhu Bumi yang luar biasa tinggi.
Pembakaran bahan bakar fosil melepaskan emisi gas rumah kaca (GRK) yang sangat besar ke atmosfer. Emisi GRK ini memerangkap panas matahari yang seharusnya bisa dipantulkan Bumi kembali ke angkasa.
Semakin banyak konsentrasi emisi GRK di atmosfer, semakin besar pula panas yang terperangkap di permukaan Bumi.
Kebutuhan manusia akan energi, apa pun itu bentuknya, dituding sebagai biang keladi utama kenaikan konsentrasi emisi GRK yang menyebabkan suhu Bumi melonjak.
Menurut Our World in Data, 73,2 persen emisi GRK global berasal dari sektor energi yang diperlukan untuk berbagai aktivitas manusia dan perekonomian dunia. Pembangkitan listrik, energi pada industri, transportasi, dan lain-lain termasuk dalam kategori ini.
Lonjakan emisi GRK yang terjadi di Bumi sangat tinggi daripada yang Anda bayangkan. Temuan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), separuh dari semua emisi karbon dioksida di Bumi sejak 1751 sampai saat ini berasal dari aktivitas manusia sejak 1990-an alias 30 tahun lalu.
Dan sekarang, dunia sudah merasakan kenaikan suhu yang luar biasa tinggi. Dalam 12 bulan berturut-turut, terhitung Juni 2023 hingga Mei 2024, dunia memecahkan rekor suhu terpanas di setiap bulannya.
Dalam 12 bulan terakhir, suhu bumi sudah meningkat lebih dari 1,5 derajat celsius. Padahal sembilan tahun lalu, seratusan negara sepakat Bumi tidak boleh memamas 1,5 derajat celcius atau kehidupan makhluk hidup tidak menghadapi ancaman yang serius.
Salah satu anggota IPCC Aditi Mukherji menyebut kenaikan suhu 1,5 derajat sebagai demam tinggi. Suhu manusia normal 36 derajat celsius. Naik 1 derajat saja, manusia sudah dikatakan demam. Apalagi jika suhu sudah mencapai 37,5 derajat celsius atau naik 1,5 derajat celcius.
Lembaga pemantau perubahan iklim bentukan Uni Eropa, Copernicus Climate Change Service (C3S) bahkan mengungkapkan, Bumi memecahkan rekor tiga hari terpanas berturut-turut, yakni Minggu, Senin, dan Selasa (21-23/7/2024).
Pada Minggu 21 Juli 2024, rata-rata suhu Bumi mencapai 17,09 derajat celsius. Pada Senin 22 Juli 2024, temperatur rata-rata Bumi tembus 17,16 derajat celsius alias menjadi yang terpanas.
Sedangkan pada Selasa 23 Juli 2024, suhu rata-rata Bumi sedikit lebih rendah dibandingkan hari sebelumnya yakni 17,15 derajat celsius.
Suhu Bumi hanya menjadi salah satu indikator perubahan yang ada di Bumi. Dampak sebenarnya adalah terjadinya krisis iklim yang bisa membinasakan makhluk hidup di planet ini.
Krisis iklim disinyalir membuat berbagai bencana menjadi lebih kuat dan lebih sering. Salah satu contohnya adalah badai.
Menurut penelitian pada 2024, badai dengan kekuatan besar semakin mungkin terjadi karena perubahan iklim, karena memanasnya lautan dan atmosfer.
Dampak lainnya adalah meningkatkan kekeringan di berbagai wilayah. Kondisi tersebut memperburuk krisis air di wilayah yang sudah mengalami kesulitan air.
Pemanasan Bumi juga menyebabkan peningkatan risiko kekeringan di lahan pertanian yang dapat mengganggu pasokan pangan.
Kenaikan suhu Bumi membuat lapisan es di kutub semakin banyak yang mencair hingga menyebabkan kenaikan permukaan laut. Kenaikan permukaan air laut mengancam orang-orang yang tinggal di pesisir dan pulau-pulau kecil.
Krisis iklim juga menimbulkan risiko langsung bagi kelangsungan hidup spesies di darat dan di laut. Karena krisis iklim, dunia kehilangan spesies 1.000 kali lebih cepat dibandingkan sebelumnya dalam sejarah manusia. Satu juta spesies terancam akan punah dalam beberapa dekade mendatang.
Kebakaran hutan menjadi lebih sering dengan skala yang lebih luas belakangan ini karena suhu Bumi meningkat. Durasi hutan yang terbakar juga menjadi lebih lama.
Kebakaran hutan turut melepaskan emisi GRK ke udara dan hutan yang gundul tak mampu lagi mengubah karbon dioksida menjadi oksigen. Satwa liar menjadi korban yang paling menderita akibat kebakaran hutan.
Zorgon membakar planetnya untuk menghasilkan energi yang mereka butuhkan hingga akhirnya menjadi gelandangan di ruang angkasa. Sedangkan manusia, tanpa membakar Bumi pun sudah menyebabkan kerusakan yang sangat masif dari aktivitas pembakarannya.
Jangan sampai Bumi yang hanya ada satu-satunya ini menjadi planet yang tidak layak huni akibat ketamakan kita sendiri, dan manusia menjadi pengelana di ruang angkasa untuk mencari energi. Seperti Zorgon di film Zathura.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya