Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Danur Lambang Pristiandaru
Wartawan

Asisten Editor Global Kompas.com
Alumnus Prodi Ketahanan Energi Universitas Pertahanan

Manusia Membakar Bumi

Kompas.com, 4 Agustus 2024, 17:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

ALKISAH, di ruang angkasa yang sangat luas, hiduplah spesies reptil cerdas bernama Zorgon. Mereka berkelana di antariksa dengan pesawat ulang-alik canggih, mencari apa pun yang bisa dibakar untuk dijadikan energi.

Zorgon adalah makhluk yang rakus energi. Mereka bahkan rela membakar planet sendiri untuk dijadikan sumber energi karena tidak ada lagi yang bisa dibakar di sana.

Kelakuan itu membuat mereka menjadi makhluk terkutuk, terusir dari planet mereka atas ulahnya sendiri. Zorgon akhirnya menjadi "gelandangan" antariksa yang mencari apa pun untuk dibakar agar menjadi energi.

Penggalan cerita tersebut merupakan bagian dari film Zathura yang dirilis pada 2005 lampau. Saya menontonnya ketika masih bocah. Adegan Zorgon membakar planetnya sendiri sangat membekas di ingatan.

Ada satu pertanyaan yang membuat saya sangat penasaran kala itu. Bagaimana bisa membakar sesuatu bisa menghasilkan energi hingga Zorgon begitu tega sampai membakar planetnya sendiri?

Semakin dewasa, pertanyaan tersebut terjawab dengan sendirinya. Membakar adalah upaya pembangkitan energi yang terbukti paling stabil, andal, dan paling mudah.

Dengan membakar, manusia bisa menghasilkan listrik yang bisa dipakai untuk apa saja. Sebut apa aktivitasnya, semua bisa dilakukan dengan listrik.

Kita bisa memasak nasi tanpa memakai api di rumah, kita bisa mengeringkan rambut tanpa perlu bau sangit, kita bisa membuat es meski di iklim tropis, atau kita bisa masuk rumah yang dingin saat udara sedang terik-teriknya membakar kulit.

Tak hanya listrik, industri juga memanfaatkan pembakaran untuk menggerakkan mesin-mesin mereka. Bahkan Eropa bisa semaju sekarang karena mereka melakukan pembakaran lebih dulu di perindustrian mereka.

Selain itu, transportasi yang mempermudah kehidupan manusia saat ini juga memanfaatkan sistem pembakaran.

Dan mayoritas bahan bakar yang dimanfaatkan untuk menghasilkan energi di dunia ini, sekaligus menggerakkan perekonomian global, berasal dari dalam perut bumi: batu bara, minyak, dan gas bumi --biasa disebut bahan bakar fosil.

Bumi semakin panas

Namun di balik semua kemudahan dan kenyamanan dari keseluruhan proses pembakaran untuk menghasilkan energi, ada konsekuensi besar yang menanti di depan mata: kenaikan suhu Bumi yang luar biasa tinggi.

Pembakaran bahan bakar fosil melepaskan emisi gas rumah kaca (GRK) yang sangat besar ke atmosfer. Emisi GRK ini memerangkap panas matahari yang seharusnya bisa dipantulkan Bumi kembali ke angkasa.

Semakin banyak konsentrasi emisi GRK di atmosfer, semakin besar pula panas yang terperangkap di permukaan Bumi.

Kebutuhan manusia akan energi, apa pun itu bentuknya, dituding sebagai biang keladi utama kenaikan konsentrasi emisi GRK yang menyebabkan suhu Bumi melonjak.

Menurut Our World in Data, 73,2 persen emisi GRK global berasal dari sektor energi yang diperlukan untuk berbagai aktivitas manusia dan perekonomian dunia. Pembangkitan listrik, energi pada industri, transportasi, dan lain-lain termasuk dalam kategori ini.

Lonjakan emisi GRK yang terjadi di Bumi sangat tinggi daripada yang Anda bayangkan. Temuan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), separuh dari semua emisi karbon dioksida di Bumi sejak 1751 sampai saat ini berasal dari aktivitas manusia sejak 1990-an alias 30 tahun lalu.

Dan sekarang, dunia sudah merasakan kenaikan suhu yang luar biasa tinggi. Dalam 12 bulan berturut-turut, terhitung Juni 2023 hingga Mei 2024, dunia memecahkan rekor suhu terpanas di setiap bulannya.

Dalam 12 bulan terakhir, suhu bumi sudah meningkat lebih dari 1,5 derajat celsius. Padahal sembilan tahun lalu, seratusan negara sepakat Bumi tidak boleh memamas 1,5 derajat celcius atau kehidupan makhluk hidup tidak menghadapi ancaman yang serius.

Salah satu anggota IPCC Aditi Mukherji menyebut kenaikan suhu 1,5 derajat sebagai demam tinggi. Suhu manusia normal 36 derajat celsius. Naik 1 derajat saja, manusia sudah dikatakan demam. Apalagi jika suhu sudah mencapai 37,5 derajat celsius atau naik 1,5 derajat celcius.

Lembaga pemantau perubahan iklim bentukan Uni Eropa, Copernicus Climate Change Service (C3S) bahkan mengungkapkan, Bumi memecahkan rekor tiga hari terpanas berturut-turut, yakni Minggu, Senin, dan Selasa (21-23/7/2024).

Pada Minggu 21 Juli 2024, rata-rata suhu Bumi mencapai 17,09 derajat celsius. Pada Senin 22 Juli 2024, temperatur rata-rata Bumi tembus 17,16 derajat celsius alias menjadi yang terpanas.

Sedangkan pada Selasa 23 Juli 2024, suhu rata-rata Bumi sedikit lebih rendah dibandingkan hari sebelumnya yakni 17,15 derajat celsius.

Suhu Bumi hanya menjadi salah satu indikator perubahan yang ada di Bumi. Dampak sebenarnya adalah terjadinya krisis iklim yang bisa membinasakan makhluk hidup di planet ini.

Krisis iklim disinyalir membuat berbagai bencana menjadi lebih kuat dan lebih sering. Salah satu contohnya adalah badai.

Menurut penelitian pada 2024, badai dengan kekuatan besar semakin mungkin terjadi karena perubahan iklim, karena memanasnya lautan dan atmosfer.

Dampak lainnya adalah meningkatkan kekeringan di berbagai wilayah. Kondisi tersebut memperburuk krisis air di wilayah yang sudah mengalami kesulitan air.

Pemanasan Bumi juga menyebabkan peningkatan risiko kekeringan di lahan pertanian yang dapat mengganggu pasokan pangan.

Kenaikan suhu Bumi membuat lapisan es di kutub semakin banyak yang mencair hingga menyebabkan kenaikan permukaan laut. Kenaikan permukaan air laut mengancam orang-orang yang tinggal di pesisir dan pulau-pulau kecil.

Krisis iklim juga menimbulkan risiko langsung bagi kelangsungan hidup spesies di darat dan di laut. Karena krisis iklim, dunia kehilangan spesies 1.000 kali lebih cepat dibandingkan sebelumnya dalam sejarah manusia. Satu juta spesies terancam akan punah dalam beberapa dekade mendatang.

Kebakaran hutan menjadi lebih sering dengan skala yang lebih luas belakangan ini karena suhu Bumi meningkat. Durasi hutan yang terbakar juga menjadi lebih lama.

Kebakaran hutan turut melepaskan emisi GRK ke udara dan hutan yang gundul tak mampu lagi mengubah karbon dioksida menjadi oksigen. Satwa liar menjadi korban yang paling menderita akibat kebakaran hutan.

Zorgon membakar planetnya untuk menghasilkan energi yang mereka butuhkan hingga akhirnya menjadi gelandangan di ruang angkasa. Sedangkan manusia, tanpa membakar Bumi pun sudah menyebabkan kerusakan yang sangat masif dari aktivitas pembakarannya.

Jangan sampai Bumi yang hanya ada satu-satunya ini menjadi planet yang tidak layak huni akibat ketamakan kita sendiri, dan manusia menjadi pengelana di ruang angkasa untuk mencari energi. Seperti Zorgon di film Zathura.

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya
Menteri LH Sebut Gelondongan Kayu Terseret Banjir Sumatera Bisa Dimanfaatkan
Menteri LH Sebut Gelondongan Kayu Terseret Banjir Sumatera Bisa Dimanfaatkan
Pemerintah
Bioetanol dari Sorgum Disebut Lebih Unggul dari Tebu dan Singkong, tapi..
Bioetanol dari Sorgum Disebut Lebih Unggul dari Tebu dan Singkong, tapi..
LSM/Figur
Asia Tenggara Catat Kenaikan 73 Persen pada Hasil Obligasi ESG
Asia Tenggara Catat Kenaikan 73 Persen pada Hasil Obligasi ESG
Pemerintah
4 Penambang Batu Bara Ilegal di Teluk Adang Kalimantan Ditangkap, Alat Berat Disita
4 Penambang Batu Bara Ilegal di Teluk Adang Kalimantan Ditangkap, Alat Berat Disita
Pemerintah
Drone Berperan untuk Pantau Gajah Liar Tanpa Ganggu Habitatnya
Drone Berperan untuk Pantau Gajah Liar Tanpa Ganggu Habitatnya
Swasta
6 Kukang Sumatera Dilepasliar di Lampung Tengah
6 Kukang Sumatera Dilepasliar di Lampung Tengah
Pemerintah
RI dan UE Gelar Kampanye Bersama Lawan Kekerasan Digital terhadap Perempuan dan Anak
RI dan UE Gelar Kampanye Bersama Lawan Kekerasan Digital terhadap Perempuan dan Anak
Pemerintah
UNCTAD Peringatkan Sistem Perdagangan Dunia Rentan Terhadap Risiko Iklim
UNCTAD Peringatkan Sistem Perdagangan Dunia Rentan Terhadap Risiko Iklim
Pemerintah
Tak Perbaiki Tata Kelola Sampah, 87 Kabupaten Kota Terancam Pidana
Tak Perbaiki Tata Kelola Sampah, 87 Kabupaten Kota Terancam Pidana
Pemerintah
Bencana di Sumatera, Menteri LH Akui Tak Bisa Rutin Pantau Jutaan Unit Usaha
Bencana di Sumatera, Menteri LH Akui Tak Bisa Rutin Pantau Jutaan Unit Usaha
Pemerintah
DP World: Rantai Pasok Wajib Berubah untuk Akhiri Krisis Limbah Makanan
DP World: Rantai Pasok Wajib Berubah untuk Akhiri Krisis Limbah Makanan
LSM/Figur
KLH Periksa 8 Perusahaan terkait Banjir Sumatera, Operasional 4 Perusahaan Dihentikan
KLH Periksa 8 Perusahaan terkait Banjir Sumatera, Operasional 4 Perusahaan Dihentikan
Pemerintah
TN Way Kambas Sambut Kelahiran Bayi Gajah Betina, Berat 64 Kilogram
TN Way Kambas Sambut Kelahiran Bayi Gajah Betina, Berat 64 Kilogram
LSM/Figur
Menteri LH Sebut Kayu Banjir Bukan dari Hulu Batang Toru
Menteri LH Sebut Kayu Banjir Bukan dari Hulu Batang Toru
Pemerintah
TPA Suwung Bali Ditutup 23 Desember 2025, Ini Alasannya
TPA Suwung Bali Ditutup 23 Desember 2025, Ini Alasannya
Pemerintah
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau