KOMPAS.com - Ketua Komite Nasional (Komnas) Pengendalian Tembakau Hasbullah Thabrany mengemukakan, risiko penyakit yang ditimbulkan akibat rokok elektronik sama dengan rokok konvensional.
Dia menambahkan, berdasarkan banyak kajian, rokok elektronik tidak mengruangi risiko penyakit, bahkan meningkatkannya.
"Banyak kajian yang membuktikan bahwa rokok elektronik tidak menurunkan risiko, tetap saja membuat kecanduan," kata Hasbullah di Jakarta, Sabtu (3/8/2024), sebagaimana dilansir Antara.
Baca juga: Paparan Asap Rokok Sebabkan Kulit Sensitif pada Bayi
Ia mengapresiasi terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Kesehatan yang di dalamnya mengatur larangan penjualan produk tembakau dan rokok elektronik.
Menurut dia, kadar nikotin yang ada dalam rokok elektronik juga sama berbahayanya dengan rokok konvensional.
"Orang mulai coba-coba elektronik kan karena kadar nikotinnya itu kan, kalau elektronik kadar nikotinnya ada di cairan, sehingga risikonya sama saja," ucapnya.
Ia menegaskan, pajak rokok di daerah juga harus benar-benar digunakan untuk mengurangi prevalensi perokok anak dan remaja.
Baca juga: Kemenkes: Rokok Kontributor Terbesar Kasus TBC di Indonesia
"Ada peraturan minimum 50 persen untuk kesehatan dari pajak rokok daerah. Kalau 10 persennya saja bisa dipakai untuk menyadarkan masyarakat tentang pentingnya mengontrol perokok pemula dan remaja oleh pemda (pemerintah daerah), jangan sampai jual ketengan dan mengingatkan masyarakatnya, itu bisa efektif," katanya.
Presiden Joko Widodo menandatangani PP Nomor 28 Tahun 2024 tentang Kesehatan pada 26 Juli 2024.
PP tersebut salah satunya mengatur mengenai larangan penjualan produk tembakau dan rokok elektronik yang tertera dalam pasal 434 ayat (1) poin c.
Dalam pasal 434 tertulis Ayat (1) setiap orang dilarang menjual produk tembakau dan rokok elektronik, jika poin (a) disebutkan menggunakan mesin layan diri, poin (b) kepada setiap orang di bawah usia 21 (dua puluh satu) tahun dan perempuan hamil, (c) secara eceran satuan per batang, kecuali bagi produk tembakau berupa cerutu dan rokok elektronik.
Poin (d) dengan menempatkan produk tembakau dan rokok elektronik pada area sekitar pintu masuk dan keluar atau pada tempat yang sering dilalui, (e) dalam radius 200 (dua ratus) meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain anak, dan (f) menggunakan jasa situs web atau aplikasi elektronik komersial dan media sosial.
Baca juga: Berbahaya Bagi Lingkungan, Sampah Puntung Rokok Mesti Diatasi
Menurut Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023, jumlah perokok aktif di Indonesia mencapai 70 juta orang.
Dari jumlah tersebut, anak muda berusia 15-19 tahun menjadi kelompok umur terbanyak yang merokok yakni 56,5 persen.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Eva Susanti mengatakan, tingginya jumlah perokok di Indonesia tak bisa dilepaskan dari industri rokok yang gencar memasarkan produknya di masyarakat, terutama anak dan remaja.
Dia menambahkan, pemasaran dilakukan dengan memanfaatkan berbagai cara di antaranya jangkauan merek multinasional, influencer, topik yang sedang tren, popularitas, dan pengenalan merek tembakau serta nikotin di media sosial.
"Kita dihadapkan dengan bahaya pertumbuhan perokok aktif di Indonesia, terutama pada anak remaja," kata Eva dikutip dari siaran pers, Rabu (29/5/2024).
Baca juga: Tak Hanya Kesehatan, Puntung Rokok Juga Merusak Lingkungan
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya