KOMPAS.com-Salah satu upaya mencegah laju pemanasan global yang tak terkendali di planet ini adalah dengan bertahap menghentikan penggunaan bahan bakar fosil.
Namun di satu sisi, ada satu industri yang masih memanfaatkan penggunaan minyak dan bahkan meningkat yaitu produksi plastik.
Laporan tahun 2018 dari Badan Energi Internasional menyebutkan petrokimia, bahan kimia yang diperoleh dari minyak bumi selama penyulingan dan digunakan untuk memproduksi plastik menjadi pendorong dan menyumbang terbesar permintaan minyak global pada tahun 2050.
Gambaran ini pun menjadi pemicu pertanyaan, bisakah kita berhenti menggunakan plastik?
Sebuah pertanyaan sulit mengingat banyak aspek kehidupan yang kini tidak bisa terlepas dari bahan tersebut.
Selain itu mengutip Live Science, Selasa (13/8/2024) salah satu alasan plastik sulit dihilangkan adalah karena biaya produksinya yang sangat murah.
Baca juga: Kurangi Penggunaan Botol Plastik, KAI Sediakan Dispenser di 22 Stasiun
Plastik juga memiliki sifat kimia yang membuatnya sangat diperlukan dalam lingkungan medis.
Plastik steril, fleksibel dan cukup murah untuk dibuang setelah sekali pakai. Ini jadi keuntungan bagi pengendalian infeksi.
Artikel yang dipublikasikan oleh AMA Journal of Ethics tahun 2022 menulis pula bahwa plastik menyumbang antara 20 persen hingga 25 persen dari limbah yang dihasilkan oleh fasilitas perawatan kesehatan AS.
Dan penggunaan plastik sekali pakai dalam perawatan kesehatan mungkin meningkat, meskipun seberapa banyak jumlahnya sulit untuk dipastikan.
Walaupun jadi tantangan tersendiri bukan berarti hal yang mustahil untuk berhenti atau setidaknya mengurangi penggunaan plastik.
Salah satunya dengan cara beralih ke bioplastik atau plastik yang terbuat dari biomassa terbarukan, seperti pati jagung atau polihidroksialkanoat (PHA), yang merupakan poliester alami yang dapat terurai yang diproduksi oleh mikroorganisme.
Hanya saja bioplastik bukannya tanpa masalah. Tidak semua bioplastik terurai secara hayati dan sebagian besar memerlukan pemrosesan industri untuk mengembalikannya ke alam.
Dibandingkan dengan produksi plastik tradisional, produksi bioplastik menghasilkan emisi gas rumah kaca yang lebih rendah.
Baca juga: Upaya DLH Jakarta Terapkan Plastik Sekali Pakai dan Guna Ulang
Akan tetapi, seperti produk tradisional lainnya, bioplastik menghasilkan mikroplastik saat terurai. Bioplastik juga jauh lebih mahal untuk diproduksi dan tidak selalu memiliki sifat yang ideal untuk setiap pemakaian, seperti penggunaan di lingkungan rumah sakit.
Daya tahan adalah masalah yang dapat dipecahkan, tetapi Robert Langer, Profesor Institut David H. Koch di Departemen Teknik Biologi MIT mengungkapkan tantangan yang lebih besar adalah apa pun yang digunakan dalam lingkungan medis harus diuji keamanannya sebelum digunakan dan itu sangat mahal.
Peraturan kesehatan dan keselamatan mengharuskan bahan yang digunakan dalam lingkungan medis untuk bertahan dalam kondisi yang sangat keras.
Misalnya, plastik harus berulang kali menahan panas dan tekanan tinggi yang diperlukan untuk sterilisasi.
"Plastik yang dapat terurai secara hayati mungkin tidak tahan terhadap kondisi ini dan mungkin tidak memiliki waktu stabilitas yang dibutuhkan," kata Jan-Georg Rosenboom, seorang insinyur kimia di MIT.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya