ISU keberlanjutan menjadi arus utama dalam diskusi para pebisnis, politisi, aktivis, pegiat komunitas, dan akademisi.
Kita semua menyadari bahwa kebijakan-kebijakan perlu didasarkan pada pertumbuhan ekonomi yang sehat, kesejahteraan sosial yang baik, dan kelestarian lingkungan.
Tiga hal ini harus mencapai keseimbangan yang tepat, sehingga dampaknya bisa dirasakan oleh semua pihak.
Kebijakan berbasis keberlanjutan akan bisa dicapai apabila setiap organisasi memiliki pemimpin visioner dan tangguh.
Kepemimpinan keberlanjutan tidak hanya tentang bagaimana pemimpin mencapai hasil yang ditargetkan, tetapi memperhatikan proses dan dampak yang ditimbulkan.
Menurut Ferdig (2007), setiap orang yang mengambil tanggung jawab di isu keberlanjutan merupakan seorang pemimpin.
Mereka memimpin bersama orang lain dengan memperhitungkan dampak jangka panjang sistem kehidupan yang kompleks dan saling berhubungan.
Berbagai pihak saat ini berupaya mengambil peran. Misalnya, riset dari GlobeScan 2024 menemukan bahwa para ahli semakin banyak berfokus pada tindakan dan dampak nyata (23 persen) dan menetapkan target yang ambisius (16 persen).
Di atas itu semua, para ahli menyebutkan bahwa keberlanjutan menjadi inti dari model bisnis (31 persen).
Namun demikian, Fujitsu di tahun 2023 menemukan jika hanya 8 persen yang merupakan pemimpin keberlanjutan sejati.
Segelintir pemimpin tersebut telah mengembangkan kapasitas organisasi, mengimplementasikan strategi, dan memberikan hasil menuju terwujudnya transformasi berkelanjutan.
Angka ini perlu ditingkatkan agar semakin banyak pemimpin keberlanjutan sejati. Oleh karena itu, penulis ingin membagikan perspektif tentang enam kunci yang bisa menjadi fondasi untuk menjadi seorang pemimpin berkelanjutan yang efektif, visioner, dan berdampak.
Keberlanjutan tidak hanya dalam ucapan, tetapi melalui tindakan nyata. Oleh karena itu, komitmen menjadi salah satu formula penting karena mencerminkan keseriusan pemimpin.
Faktor ini menjadi ukuran bagi masyarakat untuk menilai apakah organisasi memang menerapkan keberlanjutan atau tidak. Masyarakat akan merasakan komitmen organisasi dari program dan kebijakan yang diusung oleh organisasi.
Sebagai contoh, dalam laporan GlobeScan tahun 2024, ada hasil yang cukup menarik untuk kita ikuti. Ada dua perusahaan teratas yang para ahli anggap memiliki kerja nyata di isu keberlanjutan, yaitu Patagonia (32 persen) dan Unilever (29 persen).
Hasil penelitian ini merefleksikan bagaimana komitmen perusahaan dirasakan oleh masyarakat.
Patagonia sendiri bukanlah pemain baru dalam isu keberlanjutan. Bahkan sejak pendiriannya, mereka sudah berkomitmen untuk bergerak di isu lingkungan.
Salah satu inisiatif Patagonia adalah memberlakukan pajak bumi sebesar satu persen untuk mendukung lembaga nirlaba di bidang lingkungan.
Komitmen Patagonia memberitahu kita tentang bagaimana pentingnya menyelaraskan visi dan tindakan. Secara tidak langsung, Patagonia telah menginspirasi banyak orang untuk melakukan lebih.
Menurut survei dari Capgemini 2024, sebanyak 83 persen rencana untuk meningkatkan investasi pada alat dan teknologi digital, khususnya AI sebagai pendorong inovasi dan pertumbuhan pendapatan, dalam 12-18 bulan ke depan.
Sebanyak 52 persen berniat melakukan hal sama untuk keberlanjutan. Tindakan tersebut merupakan bentuk komitmen untuk mengedepankan bisnis yang berkelanjutan.
Komitmen dalam keberlanjutan harus dikomunikasikan kepada pihak internal dan eksternal. Pada sisi internal, pemimpin perlu mengkomunikasikan visi, misi, dan strategi untuk mencapai keberlanjutan.
Pemimpin tidak bisa bekerja sendiri dalam melakukan kerja-kerja baik di isu keberlanjutan. Pemimpin perlu melibatkan anggota secara penuh agar bisa mencapai visi tersebut.
Komunikasi yang baik dibuktikan dengan pelibatan elemen-elemen keberlanjutan dalam proses pengambilan keputusan.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya