KOMPAS.com - Program co-firing biomassa di pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara menjadi salah satu upaya menjalankan nilai sustainability dari Perusahaan Listrik Negara (PLN).
Co-firing merupakan metode pencampuran biomassa dengan batu bara dalam pembakaran di dalam PLTU.
Direktur PLN Energi Primer Indonesia (EPI) Iwan Agung Firstantara mengatakan, penerapan co-firing dalam PLTU menjadi upaya mensubtitusi batu bara dan menurunkan emisi.
Baca juga: Green Logistic Bisa Kurangi Emisi Karbon hingga 70 Persen
"Kalau semua (PLTU) memanfaatkan batu bara, tidak ada elemen hijau dan keberlanjutannya. Ketika dicampur biomassa akan muncul green electricity," kata Iwan dalam Lestari Summit 2024 di Hotel Raffles, Jakarta, Rabu (21/8/2024).
KG Media berkolaborasi dengan mitra seperti BRI, Astra, PLN, dan Pertamina untuk mendukung kesuksesan Lestari Summit 2024.
PLN menargetkan co-firing PLTU dapat dilaksanakan dengan campuran setidaknya 10 persen di 52 PLTU yang ada. Dengan target tersebut, butuh pasokan biomassa setidaknya sekitar 10 juta ton per tahun.
Bila sesuai target, penurunan emisi yang bisa dicapai sebesar 11 juta ton setara karbon dioksida dari penerapan co-firing PLTU.
Tahun lalu, realisasi co-firing mencapai 1 juta ton biomassa. Tahun ini, yani 2024, ditargetkan biomassa yang bisa diserap mencapai 2 juta ton.
Baca juga: Susun NDC Kedua, Penangkap Karbon dan Co-firing Perlu Ditimbang Ulang
Iwan menuturkan, implementasi co-firing biomassa juga memanfaatkan limbah yang ada seperti limbah pertanian atau limbah pengolahan kayu.
"Potensi subtitusi batu bara (untuk PLTU) terbuka dengan lebar dan sangat besar untuk renewable energy power plant," ucap Iwan.
Iwan menyampaikan, biomassa yang diserap untuk co-firing mengambil dari sumber lokal yang disediakan oleh penyedia lokal atau masyarakat.
"Kalau batu bara, kami berkontrak dengan korporasi. Kalai biomassa ini sifatnya kerakyatan. Kami berhubungan langsung dengan petani-petani dan agregator lokal," papar Iwan.
Baca juga: Teknologi PLTU di Indonesia Mampu Serap Target Co-firing Biomassa
Dengan melibatkan sumber lokal, co-firing biomassa pada 52 PLTU menciptakan multiplier effect dalam skala ekonomi yang sangat besar.
Selain itu, penerapan co-firing di 52 PLTU juga bisa melibatkan 1,25 juta masyarakat dalam penyediaan biomassa serta memunculkan potensi ekonomi Rp 9,43 triliun per tahun.
"Pelibatan itu melalui pengumpulan limbah biomassa, proses produksi, rantai pasok, serta penanaman dan ekosistem biomassa," ucap Iwan.
Penyediaan biomassa juga bisa melalui penanaman energi seperti gamal atau kaliandra di lahan kritis yang tidak termanfaatkan.
Baca juga: PLN: Co-Firing PLTU Manfaatkan Limbah Biomassa
Selain menurunkan emisi, Iwan berujar penerapan co-firing juga mendorong sirkular ekonomi yang berbasis kerakyatan.
Contohnya, limbah fly ash bottom ash (FABA) pembakaran PLTU batu bara bisa dijadikan pupuk untuk penanaman tanaman enegri di lahan kritis.
Dedaunan dari tanaman energi tersebut bisa dimanfaatkan ntuk pakan ternak warga lokal. Penanaman tanaman energi juga bisa dimanfaatkan warga untuk menanam pangan dengan sistem tumpang sari.
Tanaman energi yang siap dipanen akan dimanfaatkan untuk co-firing PLTU. Dengan demikian, perputarannya bisa berlanjut lagi.
Baca juga: Co-firing EBTKE di 43 PLTU Sukses Kurangi Emisi Karbon 1,1 Juta Ton
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya