KOMPAS.com - Nelayan dan ilmuwan merasa khawatir ketika miliaran kepiting menghilang dari Laut Bering dekat Alaska pada tahun 2022.
Para ilmuwan menjelaskan bahwa itu bukan disebabkan oleh penangkapan ikan yang berlebihan tetapi kemungkinan besar air laut yang menghangat kemudian membuat metabolisme kepiting menjadi aktif dan mati kelaparan.
Namun, kematian yang mengerikan itu tampaknya hanya salah satu dampak dari transisi besar yang terjadi di wilayah tersebut.
Seperti dikutip dari CNN, Minggu (25/8/2024) penelitian dari National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) menemukan bahwa kondisi yang lebih hangat dan bebas es di Laut Bering tenggara sekarang kemungkinannya sekitar 200 kali lebih besar daripada sebelum manusia mulai membakar bahan bakar fosil yang menghangatkan planet.
Baca juga: Ratusan Ribu Ikan di Vietnam Mati saat Gelombang Panas
"Studi ini menggarisbawahi seberapa besar ekosistem Laut Bering ini telah berubah dari sebelumnya," kata Michael Litzow, penulis utama studi dan direktur laboratorium Kodiak Alaska untuk Perikanan NOAA.
Studi ini juga menunjukkan bagaimana kita harus mengantisipasi tahun-tahun yang lebih hangat lagi di masa depan.
Kepiting salju merupakan spesies Arktik yang tumbuh subur di daerah dengan suhu air di bawah 2 derajat Celcius, meski secara fisik juga dapat hidup di perairan hingga 12 derajat Celcius.
Gelombang panas laut pada tahun 2018 dan 2019 sangat mematikan bagi kepiting. Air yang lebih hangat menyebabkan metabolisme kepiting meningkat, tetapi tidak ada cukup makanan untuk mengimbanginya.
Baca juga: Sungai-sungai di Alaska Berubah Kecokelatan karena Perubahan Iklim
Miliaran kepiting akhirnya mati kelaparan, menghancurkan industri perikanan Alaska pada tahun-tahun berikutnya. Kepiting salju merupakan spesies yang bernilai komersial, bernilai hingga $227 juta per tahun.
Industri ini pun perlu beradaptasi dengan cepat. Pasalnya, Litzow memperingatkan kemungkinan besar kondisi buruk akan terus berlanjut di tahun-tahun mendatang.
Menurut peneliti penurunan kepiting salju Alaska menandakan perubahan ekosistem yang lebih luas di Kutub Utarakarena lautan menghangat dan es laut menghilang.
Laut di sekitar Alaska pun sekarang menjadi tidak ramah bagi beberapa spesies laut, termasuk kepiting raja merah dan singa laut.
Laut Bering yang lebih hangat juga mengancam hewan yang telah lama hidup di perairan yang dingin. Biasanya, ada da penghalang suhu di lautan yang mencegah spesies seperti ikan kod Pasifik mencapai habitat kepiting yang sangat dingin.
Baca juga: Akibat Perubahan Iklim, Ikan di Lautan Bisa Menyusut 10 Persen
Namun selama gelombang panas 2018-2019, ikan kod Pasifik dapat pergi ke perairan yang lebih hangat dari biasanya dan memakan sebagian dari populasi kepiting salju yang tersisa.
Robert Foy, direktur Pusat Sains Perikanan Alaska yang tak terlibat penelitian mengatakan perubahan ekosistem yang luas ini menimbulkan tantangan dan peluang baru bagi sains dan manajemen perikanan.
Industri perikanan seharusnya mulai berupaya untuk menggabungkan teknologi baru seperti pesawat tanpa awak dan kecerdasan buatan untuk mendeteksi dan menanggapi perubahan lingkungan dan respons ekologis dengan lebih cepat.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya