Sumber lainnya adalah non-kendaraan menyumbang 17-46 persen terhadap udara ambien PM2.5 di seluruh lokasi pengambilan sampel di kedua musim.
Porsi ini sudah termasuk kontribusi dari sumber antropogenik seperti: pembakaran batu bara, pembakaran terbuka, kegiatan konstruksi (non-pembakaran) dan debu jalan, juga sumber alam seperti tanah dan garam laut.
Data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) juga menunjukan bahwa transportasi paling dominan.
Direktur Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan KLHK, Sigit Reliantoro menyebutkan, sektor transportasi merupakan faktor terbesar pencemaran udara di Jakarta, yaitu sebesar 44 persen.
Studi Institut Teknologi Bandung (ITB) bersama Vital Strategies (2022) menyebutkan, asap knalpot kendaraan menjadi sumber utama polusi di musim penghujan maupun musim kemarau.
Di musim penghujan, emisi dari asap knalpot kendaraan mencapai 32-41 persen, sementara di musim kemarau emisinya mencapai 42-57 persen.
Pesatnya jumlah kendaraan baru dan masih banyaknya kendaraan tua berkontribusi menyumbang polutan terbanyak. Saat ini terdapat lebih dari 25 juta juta kendaraan melintas di jalan-jalan Jakarta.
Yang lebih miris adalah jumlah kendaraan bermotor meningkat pesat. Jumlah motor dan mobil di Jakarta meningkat sebesar 12 persen setiap tahunnya.
Jumlah kendaraan bermotor di Jakarta bertambah sebanyak 5.500 unit hingga 6.000 unit kendaraan per hari. Sementara pengembangan jalan hanya sekitar 0,01 persen per tahun.
Jumlah unit kendaraan bermotor hingga akhir 2014 di Jakarta sebanyak 17.523.967 unit yang didominasi kendaraan roda dua dengan jumlah 13.084.372 unit.
Diikuti dengan mobil pribadi sebanyak 3.226.009 unit, mobil barang 673.661 unit, bus 362.066 unit, dan kendaraan khusus 137.859 unit. Meningkatnya arus transportasi berbasis BBM Jakarta berkontribusi langsung pada tingginya polusi udara.
Atas fakta di atas, kebijakan pemerintah menerapkan BBM rendah sulfur adalah langkah berani dan sangat bijak.
Berani karena BBM rendah sulfur ini sedikit lebih mahal dan tentu akan menguras kantong negara (APBN) jika subsidi tak ditekan. Apalagi kebijakan ini dilakukan di tengah APBN Indonesia sedang berdarah-darah akibat rendahnya pertumbuhan ekonomi dan penurunan pajak.
Jadi, langkah pemerintah ini perlu disambut baik dan diapresiasi publik di Tanah Air untuk menjaga ekosistem lingkungan hidup yang nyaman untuk kehidupan bermasyarakat.
Pertanyaan kemudian yang muncul adalah bagaimana kesiapan Pertamina sebagai badan usaha yang memproduksi dan mendistribusikan BBM ke seluruh Indonesia terkait kebijakan BBM rendah sulfur ini?
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya