KOMPAS.com - Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), unit di bawah Kementerian Keuangan, membuat program pengembangan sumber daya manusia (SDM) perkebunan kelapa sawit.
Dana BPDPKS berasal dari pungutan ekspor dan disalurkan untuk beragam program strategis pemerintah mulai dari peremajaan sawit rakyat, peningkatan sarana dan prasarana Pperkebunan, pengembangan SDM, serta penelitian dari hulu dan hilirisasi bisnis kelapa sawit.
Kepala Divisi Program Pelayanan BPDPKS, Arfie Thahar menjelaskan, program pengembangan SDM terbagi menjadi dua yakni pelatihan dan beasiswa.
"Pelatihan sendiri bertujuan untuk peningkatkan keterampilan dan kompetensi dari para pekebun untuk menjalankan Good Agricultural Practices,” ungkap Arfie. Arfie menambahkan, pendanaan program pengembangan SDM ini sudah berjalan sejak tahun 2016.
"Hingga tahun 2024, sudah lebih dari 18 ribu pekebun mendapatkan pelatihan dan lebih dari 6 ribu anak mendapatkan beasiswa. Sepanjang tahun 2021-2024 pendanaan bagi pelatihan dan beasiswa ini meningkat 50 persen setiap tahun," ungkapnya.
Isu mengenai keterampilan pekebun swadaya, jelas Arfie, menjadi latar belakang program pengembangan SDM kelapa sawit yang dilaksanakan BPDPKS setiap tahun.
"Program yang rutin dilaksanakan ini menyasar berbagai pihak yang terlibat dalam bisnis Perkebunan kelapa sawit swadaya seperti pekebun, pengurus koperasi (KUD) hingga perangkat pendamping daerah," jelasnya.
Para peserta berasal dari berbagai wilayah penghasil sawit ini mengikuti pelatihan melalui undangan berdasar Data Rekomendasi Teknis (rekomtek). Rekomtek berisi daftar peserta yang diajukan Dinas Perkebunan masing-masing wilayah yang dikeluarkan Dirjen Perkebunan, Kementerian Pertanian.
Lebih jauh Arfie menyampaikan, terdapat sekitar 300 kompetensi yang harus dimiliki petani terkait budidaya sawit.
"Pemahaman terkait budidaya menjadi kekuatan yang harus dimiliki oleh para petani. Mulai dari bagaimana melakukan re-planting, pengelolaan tanaman, kemudian terkait pengelolaan hama, sampai bagaimana melakukan panen," jelasnya.
“Ini prioritas yang harus diselesaikan kompetensi yang harus dimiliki oleh para pekebun yang ada di Indonesia, kemudian baru kita bicara tentang kompetensi-kompetensi lain yang nanti dibutuhkan," ujar Arfie.
Seperti nanti jika ada kelembagaan, lanjut Arfie, bagaimana mereka mengelola finansial, mengelola keuangan dan bagaimana mengelola HPP (harga pokok produksi).
"Kemudian juga terkait dengan kelembagaan sosial, nanti juga mereka perlu karena kita arahkan ke depan petani ini harus membuat kelompok-kelompok seperti itu, untuk meningkatkan kapasitas mereka,” ujarnya.
“Kalau petani hanya memiliki area terlalu kecil, maka akan terlalu sulit untuk memiliki kompetitif. Biasanya akan cukup rendah.
"Nah, oleh karena itu mereka harus berkelompok. Untuk berkelompok ini membutuhkan kompetensi-kompetensi yang lain yang dibutuhkan, sehingga harapannya ke depan kompetensi bagi petani itu bisa lengkap,” lanjutnya.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya