“Langkah Jepang melalui kesepakatan AZEC yang mendorong negara-negara berkembang untuk mengimpor teknologi yang lebih mahal dan problematik seperti CCS, akan menaikkan beban utang yang berdampak pada ruang fiskal negara berkembang dan kinerja keuangan BUMN,” ungkap Bhima Yudhistira, Direktur Center for Economic and Law Studies (CELIOS).
Baca juga: BI Luncurkan Kalkulator Hijau, Perusahaan Bisa Langsung Hitung Emisi
Selanjutnya, co-firing amonia di pembangkit listrik berbahan bakar fosil, seperti gas dan batu bara juga problematik.
Co-firing amonia dengan rasio di bawah 50 persen akan hasilkan emisi karbon lebih besar daripada pembangkit listrik berbahan bakar gas.
Di sisi lain, co-firing amonia dengan rasio 20 persen saja, akan menaikkan modal belanja pembangkit listrik hingga 11 persen. Semakin besar rasio amonia, semakin besar pula kenaikan biayanya.
Sedangkan biomassa sebagai energi terbarukan akan hasilkan karbon 30 persen lebih banyak daripada batu bara.
Tak hanya itu, dibutuhkan 44-104 tahun atau bahkan lebih, bagi pohon baru untuk menyerap emisi yang dilepas ketika ada penebangan pohon, mendorong deforestasi masif di Indonesia.
Baca juga: Kementerian ESDM Akui Regulasi Transisi Energi Masih Belum Lengkap
“Inisiatif AZEC menjadi ancaman bagi masa depan transisi energi berkeadilan di Indonesia dan seluruh Asia. AZEC tidak hanya memperpanjang ketergantungan kita pada energi kotor, tetapi juga membahayakan kehidupan masyarakat yang berada di garis depan krisis iklim, menghambat transisi ke energi bersih, dan memenjara kita ke masa depan yang intensif karbon," pungkas Hikmat Soeriatanuwijaya, Senior Partnership and Outreach Office Oil Change International.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya