JAKARTA, KOMPAS.com - Indonesia menghadapi berbagai tantangan dalam mencapai transisi energi, terutama dalam meningkatkan porsi energi baru dan terbarukan (EBT).
Senior Consultant Purnomo Yusgiantoro Center, Farida Zed menilai, ada tiga kendala utama dalam transisi energi, khususnya dalam meningkatkan EBT.
“Paling tidak kita ada tiga kendala di dalam melakukan transisi energi, peralihan dari (energi) fosil kepada EBT,” ujar dia dalam acara “Indonesia Future Policy Dialogue” di Jakarta, Rabu (9/10/2024).
Baca juga: Bahlil Ungkap Skema Investasi Sektor EBT, Pengusaha Balik Modal 10 Tahun
Pertama, kata dia, adalah keterbatasan dalam akses proyek-proyek energi yang akan digunakan, sehingga perlu dukungan finansial.
Kedua, terbatasnya akses terhadap teknologi, dan ketiga adalah kurangnya akses terhadap sumber daya manusia.
Ia menilai, ketiga kendala tersebut menjadi pekerjaan rumah bagi kementerian terkait dan juga Dewan Energi Nasional (DEN), untuk bisa melakukan harmonisasi dan sinkronisasi.
“Paling tidak diselesaikan dulu masalah ini supaya kita bisa tampak dengan angka yang lebih besar, yang mendekati angka-angka yang menjadi target kita,” imbuhnya.
Sebagai informasi, meski angka bauran energi meningkat hingga hampir 14 persen tahun ini, pencapaiannya masih jauh dari target awal sebesar 23 persen pada 2025. Bahkan, target tersebut direncanakan direvisi menjadi 17 persen.
Baca juga: Kementerian ESDM: Indonesia Butuh Investasi Rp 219 Triliun untuk EBT
Lebih lanjut, Farida menilai ada beberapa upaya yang harus dijaga, agar Indonesia dapat mengejar target EBT setidaknya sebesar 17 persen pada 2025.
Salah satunya, kata dia, adalah kepastian bagi pengusaha. Saat ini, isu besar yang dihadapi adalah terkait kepastian tersebut. Oleh karena itu, kebijakan dan regulasi yang ada harus stabil dan tidak berubah terlalu cepat.
Jika perubahan kebijakan terjadi terlalu mendadak, hal ini dapat menyulitkan investor dalam mengambil keputusan untuk berinvestasi di sektor EBT.
Faktor kedua yang perlu diperhatikan, kata dia, adalah transparansi dan kepastian dalam proses perizinan.
Baca juga: Co-firing PLTU Upaya Tingkatkan Bauran EBT dengan Investasi Minim
“Sebagian besar investor itu kan mencari pinjaman untuk itu, nah kalau proses izin ini tidak ada kepastian waktu, tentu ini akan memberikan pengaruh kepada investasi mereka,” terang Farida, di sela acara forum.
Selain itu, ia menambahkan, komitmen PLN untuk membeli energi dari sumber EBT juga sangat penting.
Sesuai dengan peraturan pemerintah, PLN diwajibkan membeli energi dari sumber-sumber EBT. Namun, sering kali negosiasi dengan PLN memakan waktu yang lama, terutama dalam hal penandatanganan Power Purchase Agreement (PPA).
“Hal ini menjadi beban bagi dunia usaha (di sektor energi)" ungkapnya.
Ia menegaskan, pemerintah memiliki keterbatasan dana dan tanggung jawab lain, seperti di sektor pendidikan dan kesehatan, yang juga harus diselesaikan.
Oleh karena itu, melibatkan peran swasta sangat penting dalam membantu mencapai target EBT Indonesia.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya