KOMPAS.com - Pembangkit listrik tenaga batu bara tidak hanya memicu perubahan iklim tetapi juga krisis kesehatan global.
Hal tersebut menyebabkan risiko kesehatan dan iklim pun tumpang tindih, terutama di Asia Tenggara yang tengah berjuang untuk melepaskan diri ketergantungan terhadap bahan bakar fosil.
Mengutip Eco-Business, Rabu (16/10/2024) Pembangkit listrik tenaga batu bara menyebabkan polusi udara berupa partikel halus kecil namun mematikan dan terus merenggut jutaan nyawa setiap tahunnya.
Baca juga: Bahan Bakar Fosil dan Pertanian Kuras Dana Publik Negara Terdampak Perubahan Iklim
Polusi udara partikel halus atau PM2.5 tersebut mengacu pada partikel mikroskopis di udara yang diproduksi terutama dari pembakaran bahan bakar fosil.
Partikel berukuran 2,5 mikron ini dapat menembus jauh ke dalam paru-paru dan memasuki aliran darah, berpotensi menyebabkan penyakit paru-paru dan jantung.
Penyakit kronis akibat paparan emisi pembangkit listrik tenaga batu bara dalam jangka panjang berkembang seiring waktu dan tidak dapat disembuhkan begitu saja dalam semalam.
"Mereka yang tinggal jauh dari pembangkit batu bara bahkan tidak terlepas dari dampak kualitas udara. Fasilitas itu berdampak pada masyarakat sekitar," ungkap Ricka Ayu Virga Ningrum, manajer proyek Kebumi untuk advokasi kesehatan dan lingkungan.
Baca juga: Daftar Negara di Dunia yang Tidak Mengoperasikan PLTU Batu Bara
Studi dari Harvard School of Public Health tahun 2023 menemukan bahwa polutan udara dari pembangkit listrik tenaga batu bara dua kali lebih mematikan daripada polutan dari sumber lain seperti emisi kendaraan bermotor dan pembakaran kayu di rumah.
Sementara penelitian Massachusetts Institute of Technology mencatat
ketergantungan global pada pembakaran bahan bakar fosil yang berdampak tidak proporsional pada negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah, bertanggung jawab atas sedikitnya tiga juta kematian akibat polusi udara per tahun.
State of Global Air Report 2024 menemukan Asia Tenggara memiliki salah satu angka kematian dini terkait PM2.5 tertinggi di dunia. Pada tahun 2021, Tiongkok memimpin dengan 2,3 juta kematian, diikuti oleh Indonesia (221.600), Myanmar (101.600), Vietnam (99.700), dan Filipina (98.200).
Penghentian penggunaan batu bara disebut bakal memberikan dampak positif pada kualitas udara.
Contohnya saja penghentian penggunaan sejumlah fasilitas pembangkit listrik tenaga batu bara dan peningkatan signifikan dalam pembangkitan listrik bersih di Tiongkok berkontribusi pada peningkatan kualitas udara negara tersebut pada paruh pertama tahun 2024.
Namun, yang mengkhawatirkan, sebagian besar Asia Tenggara diperkirakan tidak akan mencapai puncak ketergantungannya pada batu bara hingga paling lambat tahun 2035.
Sembilan puluh delapan persen kapasitas listrik batu bara dunia yang sedang dikembangkan terkonsentrasi di hanya 15 negara, di antaranya adalah Indonesia, Filipina, dan Vietnam.
Baca juga: Penerapan CCS/CCUS Bakal Melanggengkan Penggunaan Bahan Bakar Fosil
Pusat Penelitian Energi dan Udara Bersih (CREA), sebuah lembaga think tank nirlaba menyebut penghentian awal tiga kompleks pembangkit listrik tenaga batu bara di wilayah Jawa, Indonesia, dapat secara langsung menghindari 6.928 kematian terkait polusi udara.
Penutupan juga menghemat kerugian ekonomi tahunan sebesar US$4,8 miliar dari meningkatnya insiden penyakit pernapasan dan penurunan produktivitas.
Namun, Indonesia masih bergantung pada pembangkit listrik tenaga batu bara untuk 61,8 persen pembangkitan listriknya.
Tak hanya penyebab polusi, pembangkit listrik tenaga batu bara pun turut mendorong pemanasan global dan memperburuk risiko kesehatan terkait iklim, seperti gelombang panas dan peristiwa cuaca ekstrem lainnya.
Baca juga: Bank Tetap Biayai Investasi Batu Bara meski Ada Target Iklim
Sehingga menghentikan pembangkit listrik tenaga batu bara tidak hanya membantu menstabilkan iklim global tetapi juga segera meningkatkan kualitas udara dan kesehatan masyarakat.
Emisi terkait energi global sendiri tumbuh sebesar 1,1 persen pada tahun 2023, dengan batu bara menyumbang lebih dari 65 persen peningkatan tahun lalu.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya