KOMPAS.com - Laporan lembaga keuangan Moody's mengungkapkan industri pengiriman global menghadapi tantangan besar untuk memenuhi target dekarbonisasi yang ambisius.
Laporan itu menyebut industri pengiriman global tengah berjuang untuk memenuhi target emisi karena kekurangan bahan bakar berkelanjutan dan transisi hijau yang mahal, misalnya saja seperti beralih ke kapal yang lebih ramah lingkungan.
Mengutip Sustainability Magazine, Jumat (25/10/2024) industri pengiriman bertanggung jawab atas sekitar 2 hingga 3 persen emisi karbon global sehingga kontribusinya terhadap perubahan iklim tidak dapat diabaikan.
Baca juga: Dekarbonisasi Nikel: Baseline Emisi Ditetapkan, Potensi Energi Terbarukan Dipetakan
Sayangnya, menurut Moody's transisi ke arah yang berkelanjutan tidak terjadi cukup cepat.
Ketergantungan industri pada bunker fuel tradisional dan gas alam cair (LNG) membuat sebagian besar kapal masih menggunakan bahan bakar fosil, memperlambat upaya untuk memangkas emisi secara signifikan dalam waktu dekat.
Saat ini, sekitar 90 persen kapal komersial menggunakan bunker fuel yang sangat berpolusi.
Sementara 10 persen sisanya sebagian besar menggunakan LNG, alternatif bahan bakar yang lebih ramah tetapi masih berbasis fosil.
LNG memang mengeluarkan lebih sedikit karbon dioksida (CO2) daripada solar laut saat dibakar, tetapi emisi siklus hidupnya secara penuh masih menjadi bahan perdebatan.
Dengan demikian, hal ini tidak dianggap sebagai solusi jangka panjang untuk kebutuhan dekarbonisasi industri.
Sementara laporan memperkirakan hingga tahun 2029, lebih dari 70 persen kapal baru masih tergantung pada bahan bakar fosil.
Baca juga: OJK Dorong Perbanyak Energi Bersih: Agar Pasar Karbon RI Berdaya Saing
Organisasi Maritim Internasional (IMO), yang menetapkan standar global untuk pengiriman sendiri telah menetapkan target untuk mengurangi emisi pada tahun 2030 dan 2040.
Namun, tanpa kemajuan pesat dalam ketersediaan bahan bakar berkelanjutan dan perubahan signifikan dalam cara pembuatan dan pengoperasian kapal, industri ini tidak mungkin mencapai tujuan ini.
Kesenjangan Regulasi
Lambatnya kemajuan industri pengiriman dalam dekarbonisasi diperparah oleh tidak adanya regulasi yang terkoordinasi secara global.
Laporan memaparkan kurangnya aturan yang seragam untuk mengurangi emisi dan insentif yang tidak memadai untuk mengadopsi bahan bakar hijau menghadirkan risiko yang signifikan bagi sektor tersebut.
Baca juga: Korporasi Sebut Penggunaan AI Berdampak dalam Upaya Dekarbonisasi
Kesenjangan regulasi menurut Moody's merupakan "kredit negatif", yang berarti hal itu dapat memengaruhi stabilitas keuangan perusahaan pengiriman jika mereka tidak beradaptasi dengan cukup cepat.
Ketidakpastian regulasi juga membuat perencanaan jangka panjang menjadi lebih sulit.
Misalnya saja untuk berinvestasi pada kapal baru tentu akan melibatkan risiko keuangan yang signifikan, terutama ketika ketersediaan bahan bakar berkelanjutan di masa mendatang masih belum pasti.
Lebih lanjut, industri pengiriman juga memainkan peran penting dalam rantai pasokan global, yang berarti emisinya memiliki implikasi yang lebih luas.
Emisi ini mencakup transportasi hulu seperti pengiriman bahan ke produsen dan transportasi hilir, tempat barang dikirimkan ke pelanggan.
Baca juga: Dosen UI Teliti Limbah Plastik Jadi Penangkap Karbon Dioksida
Hal tersebut akhirnya menambah tekanan pada bisnis yang bergantung pada pengiriman untuk mengurangi jejak karbon mereka.
"Tanpa kebijakan untuk merangsang permintaan dan produksi bahan bakar hijau, industri pengiriman akan kesulitan untuk melakukan dekarbonisasi dengan cara yang berarti. Perusahaan pengiriman pun akan tetap bergantung pada bahan bakar fosil," tulis Moody's dalam laporannya.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya