KOMPAS.com - KTT Iklim COP29 di Baku, Azerbaijan, akhirnya berakhir pada Minggu (24/11/2024) dini hari.
KTT Iklim tersebut sedianya berlangsung selama 11-22 November, namun molor setelah mengalami perpanjangan waktu karena drama kesepatakan pendanaan.
Dilansir dari Reuters, berikut enam rangkuman COP29 setelah pembicaraan tingkat tinggi tersebut berakhir.
Baca juga: COP29, Negara-negara Berkembang Sebut Dana Rp 4.780 Triliun Tak Cukup Atasi Perubahan Iklim
Agenda utama COP29 adalah menetapkan target tahunan baru untuk pendanaan iklim global. Topik ini menjadi perdebatan sengit selama KTT.
COP29 lantas berakhir dengan adopsi pendanaan dari negara kaya sebesar 300 miliar dollar AS per tahun mulai 2035 untuk membantu negara-negara miskin mengatasi dampak perubahan iklim.
Namun, banyak negara berkembang dan negara miskin mengatakan jumlah tersebut terlalu rendah.
Mereka juga memperingatkan bahwa tenggat waktu satu dekade lagi pada tahun 2035 akan menghambat transisi dunia menuju energi bersih.
Baca juga: COP29: Aksi iklim yang Fokus pada Kesehatan Harus Segera Dilakukan
Terpilihnya kembali Donald Trump dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) Amerika Serikat (AS) mengubah mood atau suasana COP29.
Trump sebelumnya telah berjanji untuk menjauhkan "Negeri Paman Sam" dari upaya perlawanan perubahan iklim global.
Bahkan, Trump juga sudah menunjuk seorang penyangkal perubahan iklim sebagai Menteri Energi AS.
Terpilihnya Trump berarti AS tidak dapat memberikan banyak kontribusi di COP29, meskipun menjadi pencemar terbesar di dunia dan paling bertanggung jawab atas perubahan iklim.
Hal itu juga membatasi ambisi pada target keuangan, karena ekonomi terbesar di dunia tidak mungkin berkontribusi.
Baca juga: COP29 Molor, Negara Berkembang Muak dengan Negara Maju
Setelah hampir satu dekade berupaya menetapkan kerangka kerja untuk sertifikat atau kredit karbon, COP29 membuat terobosan.
KTT iklim kali ini mencapai kesepakatan untuk memungkinkan negara-negara mulai menetapkan kredit karbon guna mendapatkan pendanaan dan mengimbangi emisi mereka, atau memperdagangkannya di bursa.
Masih ada beberapa detail kecil yang harus dikerjakan, seperti struktur registri dan kewajiban transparansi.
Para pendukung berharap dorongan untuk mengimbangi atau penebusan karbon akan membantu menarik miliaran dollar AS ke dalam proyek-proyek baru untuk membantu memerangi perubahan iklim.
Baca juga: COP29: 52 Negara Teken Deklarasi Pariwisata Berkelanjutan
Meskipun perjanjian iklim telah digembar-gemborkan selama bertahun-tahun, negara-negara menyuarakan kekhawatiran tentang fakta bahwa emisi gas rumah kaca dan suhu global masih meningkat.
Banyan negara dilanda cuaca yang semakin ekstrem, yang memperjelas bahwa laju kemajuan perjanjian yang ada belum cukup cepat untuk mencegah krisis iklim.
Tahun ini bahkan diprediksi bakal menjadi tahun terpanas yang pernah tercatat, dengan bukti dampak iklim meningkat lebih cepat dari yang diperkirakan.
Berbagai bencana akibat krisis iklim telah menelan banyak korban jiwa dan memukul perekonomian banyak negara.
Baca juga: RI Tunda Luncurkan Second NDC di COP29, Ini Respons Masyarakat Sipil
Negara-negara berkembang mendesak keras pada COP29 untuk membuka diskusi tentang hambatan perdagangan yang berkaitan dengan krisis iklim
Mereka beralasan, kemampuan mereka untuk berinvestasi dalam penghijauan ekonomi mereka dirusak oleh kebijakan perdagangan mahal yang diberlakukan oleh ekonomi terkaya di dunia.
Yang menjadi fokus adalah pajak perbatasan karbon yang direncanakan Eropa. Yang sama mengkhawatirkannya adalah prospek Trump memperkenalkan tarif luas pada semua impor.
Badan iklim PBB setuju untuk menambahkan masalah tersebut ke agenda KTT Iklim mendatang.
Baca juga: COP29 Belum Sepakati Pendanaan Iklim untuk Negara Berkembang
COP tahun ini adalah yang ketiga berturut-turut yang diadakan di negara penghasil bahan bakar fosil.
Pada akhirnya, COP29 juga gagal menetapkan langkah-langkah bagi negara-negara untuk membangun janji COP28 tahun lalu untuk beralih dari bahan bakar fosil dan melipatgandakan kapasitas energi terbarukan dekade ini.
Banyak negosiator melihat hal itu sebagai kegagalan - dan tanda bahwa kepentingan bahan bakar fosil telah mengalahkan perundingan iklim.
Baca juga: 5 Kerja Sama PLN untuk Transisi Energi pada COP29
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya