KOMPAS.com-Laporan baru dari Global Witness menemukan penambangan mineral untuk memenuhi tujuan energi hijau global memicu konflik, merusak lingkungan, dan melanggar hak asasi manusia di Asia dan di tempat lain.
Global Witness merupakan sebuah LSM internasional yang berfokus pada pengungkapan pelanggaran lingkungan dan hak asasi manusia dalam industri sumber daya.
"Kami melihat banyak hal, mulai dari orang-orang yang memprotes dampak lingkungan, tentang tanah mereka yang diambil dari mereka, dan pelanggaran hak asasi manusia, hingga para penambang sendiri yang berselisih dengan perusahaan," ungkap Emily Iona Stewart, kepala kebijakan dan hubungan Uni Eropa di Global Witness.
Dikutip dari Eco Business, Kamis (28/11/2024) laporan menemukan bahwa penambangan mineral penting seperti litium, kobalt, nikel, dan tembaga, yang penting untuk kendaraan listrik, turbin angin, panel surya, dan jaringan listrik, dikaitkan dengan 334 insiden kekerasan, protes, dan kematian antara tahun 2021 dan 2023.
Baca juga:
Sebanyak 90 persen di antaranya terjadi di negara-negara berkembang. Asia Tenggara yang menjadi tempat cadangan mineral terbesar di dunia, telah menjadi titik panas kerusuhan tertentu.
Masyarakat di negara-negara tersebut menanggung beban upaya global untuk menambang sumber daya ini guna mendukung transisi energi.
Meskipun tujuan akhirnya adalah membuat planet ini lebih hijau dengan beralih dari bahan bakar tradisional seperti batu bara, masyarakat setempat sering kali masih terkena dampak negatif.
Stewart pun memperingatkan bahwa kerusuhan kemungkinan akan meningkat, karena negara-negara meningkatkan upaya mereka untuk menghentikan bahan bakar fosil.
Laporan Global Witness memproyeksikan bahwa penambangan tembaga akan meningkat lebih dari 25 persen pada tahun 2028, kobalt lebih dari 100 persen, litium lebih dari 300 persen, dan nikel lebih dari 75 persen.
Lebih lanjut laporan juga menyoroti penambangan mineral memang sedang marak di seluruh belahan Bumi Selatan.
Akan tetapi keuntungan finansialnya terutama menguntungkan perusahaan produksi negara-negara kaya. Sementara perusahaan jarang mempertimbangkan masyarakat lokal yang terdampak.
Baca juga:
Penilaian dampak lingkungan dan sosial yang dilakukan pun terbatas dan sering kali tidak ada akses bagi masyarakat untuk menyampaikan kekhawatiran.
Dengan permintaan mineral penting yang tidak menunjukkan tanda-tanda melambat, Global Witness menyerukan kepada para pemimpin dunia untuk mengatasi biaya manusia dan lingkungan dari penambangan energi terbarukan dan menerapkan mekanisme perlindungan yang lebih kuat.
Stewart berharap laporan Global Witness akan berfungsi sebagai peringatan untuk memastikan bahwa rantai pasokan benar-benar berkelanjutan.
"Untuk mencapainya, perusahaan pertambangan perlu mengadopsi dan menegakkan standar yang lebih tinggi untuk melindungi hak-hak masyarakat yang terkena dampak dan lingkungan, sementara pemerintah nasional perlu memperkuat penegakan hak asasi manusia, undang-undang ketenagakerjaan, dan perlindungan lingkungan," katanya.
Baca juga: Pertambangan Nasional Picu Bencana, BNPB Minta Pemda Tertibkan
Danny Marks, asisten profesor politik dan kebijakan lingkungan, yang berfokus pada Asia Tenggara, di Dublin City University, Irlandia turut menambahkan bahwa perusahaan yang bergantung pada mineral perlu berinvestasi lebih banyak dalam memahami rantai pasokan mereka dan memikul tanggung jawab atas kerusakan yang disebabkan oleh penambangan.
"Peralihan ke energi terbarukan sangat bagus tetapi seluruh rantai pasokan perlu mengambil tindakan dalam hal keadilan dan biayanya," paparnya lagi.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya