KOMPAS.com – Climate Risk Stress Testing (CRST) adalah inisiatif yang bertujuan untuk menganalisis ketahanan perusahaan terhadap risiko terkait iklim.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah menerbitkan panduan Climate Risk Management & Scenario Analysis Perbankan 2024. Panduan ini menjadi acuan bagi sektor perbankan untuk mengelola risiko iklim secara terstruktur, salah satunya melalui CRST yang dilakukan untuk semua kegiatan pembiayaan yang dilakukan oleh bank.
Selain itu, OJK juga merilis surat S-16 PB.013 2023 yang mengatur pelaksanaan tahap awal CRST. Surat ini mewajibkan Kelompok Bank Berdasarkan Modal Inti (KBMI) 3 dan 4 untuk menjalani tahap implementasi pilot CRST pada 2024.
Pada 2025, OJK akan memberlakukan kewajiban CRST kepada semua bank tanpa terkecuali. Langkah ini menunjukkan komitmen regulator dalam mengintegrasikan risiko iklim ke dalam manajemen risiko perbankan.
Bank diwajibkan menghitung emisi gas rumah kaca (GRK) tidak langsung yang dihasilkan dari pembiayaan mereka. Emisi GRK ini diukur berdasarkan sektor-sektor ekonomi yang menjadi penerima pembiayaan.
OJK telah menetapkan beberapa sektor ekonomi utama yang menjadi prioritas analisis untuk CRST pada 2025 untuk data 2024. Sektor-sektor tersebut di antaranya termasuk sektor pertanian, kehutanan, perikanan, pertambangan dan penggalian, pengadaan listrik, pengadaan gas dan uap, konstruksi, serta pengangkutan dan pergudangan.
Selain itu, bank harus menggunakan data Indeks Risiko Bencana Indonesia (IRBI) untuk mengidentifikasi risiko iklim. Analisis ini dilakukan berdasarkan lokasi agunan yang dijaminkan oleh debitur.
Bank diharapkan dapat menyusun kebijakan untuk mengurangi pembiayaan pada sektor dengan risiko tinggi. Langkah ini bertujuan untuk menurunkan eksposur bank terhadap risiko-risiko yang disebabkan oleh perubahan iklim.
Implementasi CRST akan berdampak langsung pada debitur bank. Debitur akan diwajibkan untuk menghitung dan melaporkan emisi GRK yang dihasilkan sebagai tambahan atas data finansial yang harus dilaporkan ke bank setiap periode.
Selain itu, debitur juga berpotensi diwajibkan menyiapkan rencana transisi menuju nol emisi (net zero). Hal ini sejalan dengan target Kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional (Nationally Determined Contributions/NDC).
Pengajuan pinjaman atau pembiayaan juga akan menjadi lebih kompleks. Bank dapat mulai menerapkan negative screening, yaitu kebijakan untuk menolak pembiayaan pada sektor tertentu yang dianggap berisiko tinggi terhadap iklim.
Perusahaan yang bergerak di sektor dengan risiko iklim tinggi akan menghadapi tantangan besar. Bank yang menerapkan CRST akan semakin selektif dalam memberikan pembiayaan kepada sektor-sektor ini.
Climate Change and Sustainability Services Leader dari EY Indonesia Albidin Linda menilai, CRST akan menjadi dasar dalam mengelola risiko iklim bagi bank. Kebijakan ini juga akan mengarahkan bank untuk mendukung sektor yang mendukung pengurangan emisi GRK.
Penerapan due diligence berbasis environmental, social, and governance (ESG) akan memengaruhi akses pembiayaan perusahaan. Perusahaan di sektor dengan risiko tinggi harus beradaptasi atau menghadapi kesulitan mendapatkan dukungan finansial.
Implementasi CRST akan memberikan dampak yang signifikan pada sistem keuangan dan ekonomi secara keseluruhan. Bank akan lebih berhati-hati dalam memberikan pembiayaan pada sektor dengan risiko tinggi.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya