KOMPAS.com - 2024 segera berakhir, kini dunia segera menyambut 2025 dengan semangat yang baru.
Memasuki tahun baru, segenap dunia terus didorong untuk semakin berkelanjutan demi masa depan Bumi yang semakin baik.
Kesadaran untuk menerapkan upaya berkelanjutan dari berbagai pihak semakin meningkat dari tahun ke tahun.
Dilansir dari Sustainability Magazine, berikut tujuh tren keberlanjutan yang diprediksi semakin moncer tahun 2025.
Baca juga: IAI Terbitkan Peta Jalan Standar Pengungkapan Keberlanjutan, Perusahaan Bersiap Patuhi
Saat ini, aspek environmental, social, and governance (ESG) atau lingkungan, sosial, dan tata kelola semakin masuk dalam penilaian bagi para eksekutif tingkat atas. Pada 2025, tren ini diperkirakan akan semakin meningkat.
Saat ini, 81 persen perusahaan di seluruh dunia menggunakan metrik ESG dalam rencana insentif eksekutif. Jumlah tersebut naik dari dibandingkan tahun 2020 yakni 68 persen.
Metrik lingkungan, khususnya pengurangan emisi karbon, mengalami pertumbuhan tercepat.
Pasalnya, banyak perusahaan semakin mengaitkan metrik ini dengan rencana insentif jangka pendek dan jangka panjang.
Inisiatif pengelolaan air akan menjadi penting pada 2025, khususnya di wilayah yang menghadapi kelangkaan air.
1,8 miliar orang diperkirakan akan menghadapi kelangkaan air absolut. Dua pertiga dari populasi global bergulat dengan tekanan air.
Sejumlah negara seperti Lebanon, Pakistan, dan Afghanistan sudah mengalami kekurangan air yang parah.
Sejumlah industri menanggapinya dengan target yang ambisius, seperti tujuan PepsiCo untuk mengisi kembali lebih dari 100 persen air yang digunakan di daerah berisiko tinggi pada tahun 2030.
Baca juga: Apakah Investor Kurang Peduli Terhadap Keberlanjutan?
Model ekonomi sirkular akan diadopsi secara luas pada 2025. Fokusnya ada pada perpanjangan masa pakai produk, penggunaan kembali, dan daur ulang.
Inovasi kemasan yang berkelanjutan akan semakin cepat. Banyak perusahaan akan menjauh dari plastik sekali pakai.
Eksekutif ESG dan Kepatuhan Peraturan Lenovo Global Mary Jacques mengatakan, prinsip efisiensi sumber daya dan ekonomi sirkular tidak selalu menghasilkan dampak lingkungan yang seragam.
"Meskipun kemampuan perbaikan sangat penting, hal itu hanya merupakan satu bagian dari solusi. Dalam beberapa tahun mendatang, vendor perlu fokus pada pengurangan dampak siklus hidup produk dan layanan, sambil memprioritaskan pengurangan konsumsi," kata Jacques.
Solusi berbasis alam atau nature-based solutions (NbS) akan semakin menonjol pada 2025. Berbagai perusahaan akan meningkatkan investasi dalam proyek restorasi dan konservasi ekosistem.
Investasi tahunan dalam NbS diproyeksikan mencapai 384 miliar dollar AS pada 2025, meningkat lebih dari dua kali lipat daripada saat ini yakni 154 miliar dollar AS.
Lonjakan ini didorong oleh kebutuhan mendesak untuk mengatasi perubahan iklim, hilangnya keanekaragaman hayati, dan degradasi lahan.
Keterlibatan sektor swasta diperkirakan akan meningkat drastis selama beberapa tahun mendatang.
Baca juga: Perusahaan di Asia Pasifik Belum Siap untuk Pelaporan Keberlanjutan Skala Penuh
Investasi dalam energi terbarukan akan melonjak pada 2025. Salah satu faktornya adalah biaya dari energi terbarukan yang terus menurun.
Selain itu, perusahaan yang berkomitmen pada tujuan energi terbarukan 100 persen akan semakin banyak.
Di samping itu, perusahaan juga memperhatikan efisiensi energi, transisi, dan teknologi rendah emisi.
Co-Founder & CEO Optera Tim Weiss mengatakan, dalam dekade berikutnya, dunia akan menyaksikan penurunan nilai aset bahan bakar fosil.
Dia menambahkan, aset bahan bakar fosil akan disesuaikan untuk mendukung teknologi rendah karbon seperti bahan bakar terbarukan atau penangkapan dan penyimpanan karbon jika memungkinkan.
"Aset yang tidak dapat disesuaikan dengan cara ini akan mengalami penurunan nilai yang stabil selama dekade mendatang," paparnya.
Di satu sisi, permintaan akan energi terbarukan akan melampaui pasokan karena perusahaan berlomba-lomba untuk memenuhi target nol emisi bersih tahun 2030.
"Mereka yang tidak mengamankan sumber daya terbarukan sejak dini akan menghadapi biaya yang meroket yang dapat menggagalkan komitmen iklim dan perencanaan keuangan mereka. Perusahaan yang mulai beralih dari bahan bakar fosil ke energi terbarukan sekarang akan menjadi perusahaan yang bertahan dalam jangka panjang," tuturnya.
Baca juga: IBM: India Memimpin dalam Keberlanjutan Berbasis Akal Imitasi
Kecerdasan buatan atau akal imitasi atau artificial intelligence (AI) telah mengalami peningkatan luar biasa pada 2024.
Tak cukup sampai situ, AI akan semakin populer hingga 2025 untuk optimalisasi upaya keberlanjutan di seluruh operasi dan rantai pasokan.
Wakil Presiden Senior Trimble Transportation Europe Christopher Keating berujar, AI bukan lagi fantasi futuristik.
"AI dengan cepat menjadi mesin penggerak efisiensi dan inovasi dalam teknologi transportasi," kata Keating.
Pada tahun 2024, perusahaan bereksperimen dengan otomatisasi dasar bertenaga AI. Sedangkan pada 2025, perusahaan akan beralih ke aplikasi yang lebih canggih.
Keating menambahkan, pemanfaatan AI tak hanya untuk tugas-tugas sederhana seperti pengoptimalan rute. Ke depan, pemanfaatan AI akan memasuki ranah pengambilan keputusan secara otonom.
Baca juga: PT GNI Wujudkan Komitmen Keberlanjutan Lingkungan dengan Penanaman Mangrove
Pada 2025, pelacakan dan pengoptimalan karbon akan menjadi hal yang umum. Berbagai perusahaan bakal mengadopsi teknologi yang digerakkan oleh AI untuk mengukur dan mengurangi jejak karbon mereka.
Teknologi penangkapan karbon, akan mengalami peningkatan efisiensi dan efektivitas biaya.
Teknologi blockchain juga akan merevolusi pasar kredit karbon, meningkatkan transparansi, keterlacakan, dan keamanan.
Pasar karbon sukarela siap untuk ekspansi yang signifikan, didorong oleh komitmen nol bersih berbagai perusahaan dan kebijakan iklim yang diperkuat.
Analisis AI dan data besar akan mengoptimalkan proyek-proyek penyerapan karbon dan strategi perdagangan.
Co-Founder & CRO Optera Ty Colman meyakini, perusahaan atau entitas yang memprioritaskan manajemen karbon secara keseluruhan akan mendorong perubahan yang lebih berarti.
"Perlombaan untuk melakukan dekarbonisasi akan mengungkap kesenjangan antara penghitungan karbon dan karbon intelijen yang sebenarnya," paparnya.
Dia bertutur, pengelolaan karbon yang sebenarnya lebih dari sekadar melaporkan angka untuk menghasilkan data yang menginformasikan keputusan strategis.
"Perusahaan yang menyadari perbedaan ini dan berinvestasi dalam solusi pengelolaan karbon yang komprehensif akan berada pada posisi yang lebih baik untuk memperoleh nilai nyata dari upaya keberlanjutan mereka dan mendorong perubahan yang berarti," jelas Colman.
Baca juga: 90 Persen Pemimpin Bisnis Percaya AI Berdampak Positif pada Keberlanjutan
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya