Melanjutkan artikel bagian ketiga tentang "Swasembada Energi Bukan Mimpi,” pada bagian keempat ini penulis membahas Bauran Energi yang Sehat menuju Swasembada Energi dan Indonesia Emas 2045.
Setiap negara harus merencanakan dan menyediakan pasokan energi dalam jumlah dan jenis yang cukup serta beragam. Komposisi jenis dan jumlah energi tersebut adalah “Menu Energi” yang sering dikenal sebagai Bauran Energi (Energy Mix).
Bauran energi adalah jumlah dan jenis energi primer yang dikonsumsi oleh suatu negara/wilayah/industri.
Baca juga:
Energi primer mengacu kepada jenis dan jumlah energi yang belum mengalami proses konversi menjadi energi final seperti listrik, BBM dan gas yang dapat langsung digunakan.
Seperti halnya makanan yang bisa menyebabkan seseorang sakit karena kekurangan, kelebihan atau salah makan, bauran energi dalam jumlah dan jenis yang tidak cukup atau salah pun bisa menyebabkan krisis dan darurat energi.
Indonesia yang memiliki banyak ragam sumber energi, semestinya tidak tergantung hanya pada sumber energi fosil saja, tetapi juga memanfaatkan sumber EBT, termasuk nuklir.
Mengapa? Karena bauran energi yang beragam merupakan salah satu syarat utama terwujudnya Ketahanan Energi di suatu negara.
Saat ini, bauran energi dunia masih didominasi oleh bahan bakar fosil, yakni sekitar 80 persen.
Penggunaan energi fosil yang pesat di dunia dimulai sejak revolusi industri di negara-negara barat (1760 - 1850).
Meskipun demikian, bauran energi di setiap negara bisa memiliki komposisi yang berbeda-beda, sesuai dengan ketersediaan dan/atau kebutuhannya masing-masing.
Terdapat beberapa faktor yang bisa mempengaruhi komposisi bauran energi di suatu negara, antara lain:
Faktor-faktor tersebut telah menyebabkan bauran energi di setiap negara berbeda-beda. Perbedaan tersebut dapat dihitung dari jumlah energi yang diproduksi, diimpor, diekspor, dan dikonsumsi di masing-masing negara.
Baca juga: Swasembada Energi Bukan Mimpi (3)
Terdapat perbedaan antara bauran energi di suatu negara dengan bauran energi untuk pembangkit listrik, yang terdiri dari kapasitas dan jenis pembangkitnya.
Misalnya, pada tahun 2022 kapasitas terpasang pembangkit listrik PLN adalah sebesar 81,2 GW yang terdiri dari batu bara 67,21 persen, gas 15,96 persen, EBT 14,12 persen dan minyak bumi 2,71 persen.
Ke depan, untuk mewujudkan kemandirian energi, Indonesia (harus) memanfaatkan Nuklir sebagai salah satu solusi strategis di bidang ketenagalistrikan.
Pemerintah melalui Dewan Energi Nasional telah merencanakan kapasitas PLTN sebesar 250 MW pada periode 2031-2035. Kemudian, meningkat menjadi 8 GW pada 2036-2040, dan 21 GW pada 204-2050, serta 45-54 GW pada 2060 .
Pertanyaannya adalah, “Bagaimana target dan realisasi bauran energi Indonesia ke depan?
Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, pada grafik di bawah ini diperlihatkan target dan realisasi bauran energi nasional periode 2021 - 2023 yang terdiri dari EBT, minyak bumi, batu bara, dan gas bumi.
Grafik Target dan Realisasi Bauran Energi Nasional Indonesia 2021-2023
Dari grafik di atas terlihat bahwa Indonesia masih mengandalkan energi fosil yang kotor, yaitu batu bara dan minyak bumi. Porsi dari dua sumber energi ini di bauran sekitar 70 persen, sedangkan sisanya sebesar 30 persen adalah dari sumber energi bersih berupa gas dan seluruh jenis EBT.
Baca juga: Rekor, Bauran Energi Terbarukan Jerman Capai 59 Persen pada 2024
Fakta ini ke depan menjadi tantangan bagi Indonesia, karena Indonesia ikut serta dalam COP29 (2024) dan NZE (2060) tapi masih banyak menggunakan sumber energi kotor.
Di lain pihak, target total konsumsi energi primer dalam bauran pun tidak pernah tercapai.
Selama periode 2021-2023, dari target total konsumsi sebesar 990,68 MTOE hanya 730,13 MTOE yang terkonsumsi, atau sekitar 73,7 persen.
Karena selain masih tergantung pada sumber energi kotor dan realisasi pencapaian bauran masih jauh dari target, maka Indonesia perlu program percepatan pencapaian bauran energi.
Jika program tersebut tidak dijalankan, maka target bauran dalam Perpres No. 22 tahun 2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional periode 2025 - 2050, sulit untuk dicapai
Tabel Target Bauran Energi Indonesia 2025 - 2050
Untuk menuju negara swasembada energi, penulis mengusulkan perbaikan bauran energi pada 2045 sebagai berikut:
Dalam usulan di atas, penulis mengutamakan bauran energi yang sehat (optimal) dan efisien, tetapi target total konsumsi energi tercapai.
Harapannya, tanpa mengorbankan konsumsi energi per kapita, pada tahun 2045 rasio antara porsi energi bersih dan kotor dalam bauran masing-masing 55 persen dan 45 persen.
Baca juga: RI Gabung BRICS, Saatnya Negara Berkembang Atur Sendiri Agenda Transisi Energi
Terdapat hubungan antara total konsumsi energi (KE) dan pertumbuhan ekonomi (PE).
Negara dengan pertumbuhan konsumsi energi tinggi, seperti Vietnam, memiliki pertumbuhan ekonomi rata-rata tahunan sebesar 7,5 persen. Negara ini mengalami proses industrialisasi yang cepat.
Sementara itu, Malaysia sebagai negara yang masuk dalam kategori negara maju baru, pertumbuhan konsumsi energinya relatif lambat (CAGR 2,1 persen). Penurunan pertumbuhan ekonomi terjadi utamanya pada saat pandemi Covid-19.
Hal ini sebagaimana yang diperlihatkan pada tabel pertumbuhan konsumsi energi dan ekonomi dari empat negara, yaitu Indonesia, Malaysia, Vietnam dan Jepang selama periode 2013 - 2023 berikut ini.
Tabel Konsumsi Energi Total dan Pertumbuhan Ekonomi Indonesia, Malaysia, Vietnam dan Jepang
Sementara itu, setelah terjadi kecelakaan akibat gempa dan tsunami yang melanda PLTN di Fukushima, Jepang (Maret 2011), sebagian besar PLTN Jepang ditutup.
Pada tahun 2013 dan 2014 tidak ada PLTN yang beroperasi, dan pada tahun 2015 pemerintah Jepang memutuskan untuk mengoperasikan kembali beberapa PLTN-nya.
Dari total sekitar 50-an unit PLTN pada saat itu, kini hanya 13 unit yang beroperasi dengan total kapasitas 12.433 MW atau sekitar 3,9% dari total konsumsi energi Jepang.
Hal ini mengakibatkan produk-produk Jepang seperti elektronik, otomotif, peralatan rumah tangga, dan sebagainya, tersaingi oleh Korea Selatan dan China.
Baca juga: Dewan Energi Nasional Usul Bangun 29 Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir
Pasar global telah dibanjiri oleh produk-produk dari dua negara tersebut. Sementara, Jepang kini fokus pada efisiensi dan konservasi energi.
Meski Indonesia memiliki pertumbuhan konsumsi energi yang relatif stabil (4,49 persen) tetapi masih terlalu rendah. Hal ini karena sebagai negara dengan jumlah populasi keempat terbesar dunia, tingkat kesejahteraan rakyat Indonesia pada umumnya masih sangat rendah.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia harus tinggi untuk menciptakan langan kerja. Hal ini memerlukan banyak tambahan pasokan energi, utamanya di sektor transportasi dan industri yang bisa memberikan kontibusi sekitar 60 persen terhadap PDB.
Agar bauran energi Indonesia menjadi lebih baik dan perekonomian yang lebih kompetitif, beberapa program yang diperlukan antara lain:
Rasio antara output ekonomi (PDB) dan konsumsi energi, atau yang sering disebut Intensitas Energi, adalah salah satu indikator penting dalam menilai efisiensi penggunaan energi di suatu negara. Pada negara swasembada energi, intensitas energi biasanya rendah.
Ini berarti negara tersebut mampu menghasilkan nilai ekonomi yang tinggi dengan jumlah konsumsi energi yang rendah/efisien.
Negara yang bergantung pada impor energi biasanya memiliki intensitas energi tinggi, terutama jika infrastruktur energi kurang efisien atau jika sektor ekonomi bergantung pada industri yang padat energi.
Karakteristik intensitas energi pada negara swasembada energi ditandai oleh efisiensi penggunaan energi tinggi, diversifikasi pelaku ekonomi di bidang produk dan jasa, dan peningkatan produktivitas dengan memanfaatkanan teknologi canggih dan manajemen energi cerdas.
Baca juga: Emisi dari Energi Jerman Turun Drastis, tetapi Mandek di Transportasi
Suatu negara dikatakan ideal jika intensitas energinya di bawah 1. Pada grafik berikut ini diperlihatkan Indonesia yang memiliki nilai intensitas sekitar 1,8 dan dikategorikan boros.
Negara yang memiliki intesitas energi di bawah atau hampir 1 adalah Amerika, Jepang dan Inggris.
Tabel Intensitas Energi di beberapa negara
Kesimpulannya, bauran energi yang “sehat” akan menghasilkan intensitas energi yang rendah dan ketahanan energi yang tinggi.
Kita harus memilih: bauran energi yang sehat atau kematian ekonomi perlahan? “Bauran energi yang tidak sehat adalah resep untuk krisis energi dan (kemudian) malapetaka ekonomi yang berujung revolusi.”
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya