KOMPAS.com - Hilirisasi baja perlu memperhatikan aspek keberlanjutan dan dampak lingkungan sejak proses awal.
Hal tersebut diutarakan Peneliti Bidang Ekonomi The Indonesian Institute Center for Public Policy Research (TII) Putu Rusta Adijaya.
Menurutnya, penting bagi pemerintah untuk menerapkan kerangka kebijakan yang transparan dan bertanggung jawab.
Baca juga: Era Baru Konservasi Pesisir Derawan lewat Pendanaan Berkelanjutan
"Begitu pula monitoring dan evaluasi, serta audit yang berkala. Hal ini juga penting untuk menunjukkan kepada investor dan para pemangku kepentingan terkait komitmen penerapan hilirisasi baja yang berintegritas dan berkelanjutan," kata Putu, sebagaimana dilansir Antara, Selasa (25/3/2025).
Putu berujar, kerangka kebijakan yang transparan dan bertanggung jawab menjadi salah satu pertimbangan investor untuk menanamkan modalnya ke industri baja domestik.
Setiap tahapan hilirisasi baja membutuhkan investasi yang tidak sedikit. Sehingga, peran pendanaan sangat penting untuk menggulirkan program ekonomi bernilai tambah ini.
Selain itu, Indonesia juga harus bersaing dengan negara lain untuk merebut investasi. Di Asia Tenggara saja, Thailand dan Vietnam kerap kali menjadi kompetitor Indonesia dalam menyerap investasi untuk sektor industri.
Baca juga: Pengesahan RUU Masyarakat Adat Dapat Wujudkan Pertumbuhan Ekonomi Berkelanjutan
"Jika kondisi ekonomi dan politik Indonesia tidak stabil, maka investor pun bisa berekspektasi yang terburuk, sehingga tidak jadi investasi ke Indonesia. Hal ini bermuara pada terlambatnya proses hilirisasi," kata Putu.
Lebih lanjut, kata Putu, tingginya tarif ekspor ke Amerika Serikat (AS) juga perlu menjadi perhatian para pelaku industri dan pemerintah. Terlebih jika "Negeri Paman Sam" itu menjadi sasaran produk hilirisasi baja dari Indonesia.
Ketua Umum Asosiasi Pemasok Energi, Mineral, dan Batu bara Indonesia (Aspebindo) Anggawira menyampaikan, hilirisasi baja dapat memperkuat kemandirian industri nasional dan mengurangi ketergantungan pada impor.
Salah satu sektor industri yang ia soroti adalah sektor konstruksi. Anggawira memperkirakan dalam membangun sebuah perumahan saja, Indonesia membutuhkan sekitar 30–40 persen baja.
Baca juga: Target Berbasis Sains Diluncurkan untuk Industri Seafood Berkelanjutan
Menurut dia, industri baja berperan penting dalam penyediaan bahan baku konstruksi, terlebih terkait dengan program tiga juta rumah yang dicanangkan oleh Presiden Prabowo Subianto.
Menurut data Kementerian Perindustrian (Kemenperin), baja saat ini menjadi salah satu subsektor industri yang masuk dalam prioritas pengembangan oleh pemerintah.
Kemenperin mencatat, baja yang termasuk dalam industri logam dasar terus konsisten menunjukkan kinerja yang gemilang.
Hal ini terlihat dari pertumbuhannya yang paling tinggi dibanding sektor lain, misalnya pada semester I tahun 2024, pertumbuhan industri ini mencapai angka 18,07 persen secara tahunan.
Pertumbuhan tersebut didorong tingginya permintaan domestik dan luar negeri. Komoditas logam dasar juga mengalami peningkatan volume ekspor yang cukup tinggi dengan mencapai 25,2 persen untuk logam dasar besi dan baja, serta 24,29 persen untuk pengecoran logam.
Baca juga: Penerbitan Obligasi Berkelanjutan Global Tembus 1 Triliun Dollar AS pada 2025
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya