Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 27/03/2025, 11:26 WIB
Hotria Mariana,
Sri Noviyanti

Tim Redaksi

KLATEN, KOMPAS.com – Sore itu, suasana di Bank Sampah Semutharjo, Kecamatan Polanharjo, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, begitu hidup.

Di bawah langit mendung, aroma tanah basah dan sampah plastik yang baru saja disortir bercampur. Dua perempuan paruh baya terlihat duduk di atas bangku kecil. Tangan mereka cekatan memisahkan botol plastik dari tumpukan sampah.

Sementara di sudut lain, terlihat area pengelolaan maggot. Di sisi ini, tampak larva-larva kecil yang meliuk-liuk di antara sisa makanan yang membusuk.

Dinding bata ekspos dengan papan bertuliskan "Pengelolaan Maggot" menjadi saksi bisu bagaimana sampah organik diubah menjadi pakan ternak berkualitas tinggi.

Baca juga: River Tubing dan Bank Sampah: Kisah Warga Menghidupkan Kembali Sungai Pusur

Di sisi lain, deretan karung plastik hitam berisi botol dan gelas plastik bekas menumpuk, menunggu giliran untuk diolah menjadi barang bernilai ekonomi.

Setiap sudut Bank Sampah Semutharjo tampak terorganisasi, mencerminkan bagaimana sampah yang sering dianggap remeh ternyata bisa menjadi bagian dari siklus ekonomi baru bagi warga setempat.

Bank Sampah Semutharjo tidak hanya berperan dalam mendaur ulang sampah, lebih dari itu turut menjaga kelestarian Sungai Pusur yang melewati kecamatan tempat bank sampah tersebut berada.

Sebelum Bank Sampah Semutharjo ada, Sungai Pusur lebih dikenal sebagai tempat pembuangan sampah daripada sebagai sumber kehidupan. Kebiasaan warga membuang sampah rumah tangga dan limbah industri langsung ke sungai menyebabkan ekosistem airnya nyaris mati.

Baca juga: Menjaga Kemurnian Sumber Air Jadi Investasi untuk Masa Depan

"Mindset warga dulu, sampah ya dibuangnya di sungai. Mereka tidak berpikir panjang soal dampaknya. Setiap hari, sampah mengalir begitu saja, membuat sungai penuh limbah," kata Ketua Paguyuban Bank Sampah Semutharjo Nina Hermawati kepada Kompas.com, Kamis (20/2/2025). 

Nina menjelaskan, kondisi tersebut membuat lingkungan menjadi tidak sehat. Banyak warga yang sakit, terutama anak-anak yang sering terkena penyakit kulit.

"Sungai yang seharusnya jadi tempat bermain justru jadi sumber penyakit (kala itu)," ujar Nina.

Ketekunan berbuah manis

Atas dasar keprihatinan itu, Nina bersama beberapa temannya bergerak. Ini yang menjadi cikal bakal pendirian Bank Sampah Semutharjo.

Baca juga: Mengikuti Air dari Lereng Merapi, Ke Mana Singgah dan Pergi?

Akan tetapi, jalannya proses tersebut tidak semudah membalik telapak tangan, mengingat kebiasaan buruk warga telah mengakar kuat.

Meski begitu, Nina tak patah semangat. Bersama tim kecilnya, ia bekerja keras mengedukasi masyarakat. Memulai dengan sistem door-to-door, mereka menjelaskan pentingnya memilah sampah dan menjaga kebersihan lingkungan.

"Awalnya sulit sekali karena mereka sudah terbiasa membuang sampah ke sungai. Banyak dari mereka yang bahkan buang air besar di sana. Kami harus pelan-pelan mengubah kebiasaan ini," kenang Nina.

Halaman:

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of
Baca tentang


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau