Penelitian yang dipublikasikan dalam Journal of Machine Learning menemukan, pelatihan model OpenAI ChatGPT menghabiskan 1.287 megawatt jam (MWh) listrik.
Konsumsi listrik tersebut menghasilkan karbon dioksida setara 80 penerbangan jarak pendek di Eropa.
Computing and Climate Impact Fellow dari Massachusetts Institute of Technology (MIT) Noman Bashir menyampaikan, AI membutuhkan kepadatan energi yang lebih besar dibandingkan proses komputasi biasanya,
"Pada dasarnya, ini hanyalah komputasi. Tetapi klaster pelatihan AI generatif mungkin mengonsumsi energi tujuh atau delapan kali lebih banyak daripada beban kerja komputasi biasa," kata Bashir, dikutip dari Euronews.
Kecanggihan AI juga perlu menjadi perhatian. Penggunaan AI untuk video, gambar, dan audio kemungkinan akan lebih haus energi.
Baca juga: Peneliti UGM Kembangkan Alat Deteksi Dini TBC Berbasis AI
Di sisi lain, menurut IEA, kekhawatiran bahwa AI akan memperparah krisis iklim karena borosnya konsumsi listriknya adalah berlebihan.
Meski AI dan emisi yang dihasilkannya meningkat, pusat datanya masih akan menjadi kontributor kecil terhadap emisi dunia yang diperkirakan 1,5 persen.
Lebih lanjut, adopsi AI yang meluas dapat membuat sejumlah aktivitas lebih efisien, mengurangi emisi di sektor lain.
IEA memperkirakan, penerapan AI yang lebih luas dapat menghasilkan pengurangan emisi hingga 5 persen pada 2035. Diklaim bahwa ini akan mengimbangi peningkatan emisi yang dihasilkan oleh permintaan pusat data.
Laporan terpisah dari Energy Intelligence memperkirakan, permintaan energi akan berlipat ganda. Di sini, AI berperan sebagai pendorong utama transisi energi bersih.
Baca juga: Bisnis Jajaki AI untuk Keberlanjutan, tetapi Khawatir Biaya Energi
Peran AI dalam transisi energi adalah penggunaannya adalah manajemen jaringan yang lebih cerdas, pengurangan biaya teknologi rendah karbon, dan peningkatan integrasi energi terbarukan.
Meskipun laporan IEA memandang positif masa depan AI dan dampaknya terhadap iklim, laporan tersebut mewanti-wanti hasil implementasinya di tahun-tahun mendatang.
"Penting untuk dicatat bahwa saat ini tidak ada momentum yang dapat memastikan adopsi aplikasi AI ini secara luas," kata laporan tersebut.
Mempertimbangkan gagasan AI yang dapat "menebus" emisi dari pusat datanya juga perlu dipertimbangkan dalam konteksnya.
Karbon dioksida tetap berada di atmosfer selama ratusan tahun. Apabila AI akhirnya menemukan cara untuk mengurangi emisi lebih banyak daripada yang dihasilkannya, teknologi ini tidak akan bisa menghilangkan dampaknya atas prosesnya.
"Penerapan aplikasi AI yang ada secara luas dapat menghasilkan pengurangan emisi yang jauh lebih besar daripada emisi dari pusat data, tetapi juga jauh lebih kecil daripada yang dibutuhkan untuk mengatasi perubahan iklim," bunyi laporan IEA menyimpulkan.
Baca juga: Mengapa Perusahaan AI Seolah Berubah Menjadi Perusahaan Energi?
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya