Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Gelombang Panas di Asia Selatan Datang Lebih Awal, Ancaman Iklim Makin Nyata

Kompas.com, 2 Mei 2025, 09:46 WIB
Eriana Widya Astuti,
Yunanto Wiji Utomo

Tim Redaksi

Walau fenomena seperti El Niño bisa mempengaruhi suhu global, saat ini siklusnya berada dalam fase netral. Menurut ClimaMeter, suhu cuaca serupa kini bisa 4 derajat Celsius lebih panas dibanding masa sebelum 1986—sebagian besar akibat aktivitas manusia.

Baca juga: Pohon yang Beragam Bikin Kota Tangguh Iklim dan Warga Bahagia

Tak hanya Asia Selatan, wilayah Timur Tengah juga mencatat suhu musim semi yang mengancam kelangsungan hidup manusia. Musim panas di Spanyol dan Prancis juga diperkirakan akan memecahkan rekor suhu dalam waktu dekat.

“Kita sebelumnya memperkirakan kejadian seperti ini baru terjadi pada 2050 atau 2070. Ternyata, semuanya datang lebih cepat. Model prediksi kita gagal menangkap percepatan ini,” kata Mengaldo.

David Faranda, ilmuwan senior dari Pusat Penelitian Ilmiah Nasional Prancis dan rekan penulis laporan, menegaskan bahwa solusi jangka panjang hanya bisa dicapai deng[an menghentikan penggunaan bahan bakar fosil dan memangkas emisi karbon secara besar-besaran.

Jika tidak, dunia akan menghadapi konsekuensi iklim yang mengerikan. Faranda juga menyoroti pentingnya adaptasi iklim lewat isolasi bangunan yang baik, penggunaan energi hijau, dan desain yang mendukung pendinginan alami.

Meski upaya mitigasi dilakukan sekarang, sistem iklim tetap membutuhkan waktu puluhan hingga ratusan tahun untuk kembali stabil.

“Kenaikan permukaan laut misalnya, akan terus terjadi selama ratusan tahun mendatang,” ujarnya.

Faranda dan Mengaldo sepakat bahwa ketimpangan ekonomi dan lemahnya infrastruktur menjadi faktor penentu siapa yang bisa bertahan di tengah cuaca ekstrem. Mereka yang tidak punya akses pada alat pendingin atau air bersih berada dalam risiko terbesar.

Delhi kini memperbarui rencana aksi menghadapi panas ekstrem, dengan fokus pada kelompok rentan seperti lansia, buruh lapangan, dan pedagang kaki lima. Namun pelaksanaan di lapangan masih belum merata.

Faranda menambahkan bahwa adaptasi makin sulit dijangkau oleh negara-negara berkembang yang rentan terhadap suhu ekstrem, terutama dengan masalah pasokan listrik yang tidak stabil.

“Kita membutuhkan rumah-rumah yang lebih terisolasi, material bangunan yang efisien dalam menjaga suhu, dan desain arsitektur yang mendukung pendinginan alami,” ujar Mengaldo.

Menurut Faranda, transisi energi juga harus dibarengi perubahan gaya hidup. Selain memperluas pemanfaatan energi terbarukan, masyarakat harus mengurangi konsumsi energi lewat arsitektur hemat energi dan kebiasaan baru yang lebih berkelanjutan.

Baca juga: Krisis Iklim Merenggut Kesempatan Anak untuk Bersekolah

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Halaman:

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya
ILO Dorong Literasi Keuangan Untuk Perkuat UMKM dan Pekerja Informal Indonesia
ILO Dorong Literasi Keuangan Untuk Perkuat UMKM dan Pekerja Informal Indonesia
Pemerintah
ULM dan Unmul Berkolaborasi Berdayakan Warga Desa Penggalaman lewat Program Kosabangsa
ULM dan Unmul Berkolaborasi Berdayakan Warga Desa Penggalaman lewat Program Kosabangsa
Pemerintah
PLTS 1 MW per Desa Bisa Buka Akses Energi Murah, tapi Berpotensi Terganjal Dana
PLTS 1 MW per Desa Bisa Buka Akses Energi Murah, tapi Berpotensi Terganjal Dana
LSM/Figur
Bulu Babi di Spanyol Terancam Punah akibat Penyakit Misterius
Bulu Babi di Spanyol Terancam Punah akibat Penyakit Misterius
LSM/Figur
Studi Iklim 2024 Direvisi, tapi Prediksi Dampak Ekonomi Global Tetap Parah
Studi Iklim 2024 Direvisi, tapi Prediksi Dampak Ekonomi Global Tetap Parah
LSM/Figur
Kemenhut Hentikan Sementara Pengangkutan Kayu di Sumatera, Cegah Peredaran Ilegal
Kemenhut Hentikan Sementara Pengangkutan Kayu di Sumatera, Cegah Peredaran Ilegal
Pemerintah
Kukang dan Trenggiling Dilepasliar ke Hutan Batang Hari Jambi
Kukang dan Trenggiling Dilepasliar ke Hutan Batang Hari Jambi
Pemerintah
Cerita Usaha Kerupuk Sirip Ikan Tuna di Bali, Terhambat Cuaca Tak Tentu
Cerita Usaha Kerupuk Sirip Ikan Tuna di Bali, Terhambat Cuaca Tak Tentu
LSM/Figur
Survei HSBC: 95 Persen CEO Anggap Transisi Iklim Peluang Pertumbuhan Bisnis
Survei HSBC: 95 Persen CEO Anggap Transisi Iklim Peluang Pertumbuhan Bisnis
Pemerintah
Ketika Lingkungan Menjadi Tanggung Jawab Bersama
Ketika Lingkungan Menjadi Tanggung Jawab Bersama
Pemerintah
Suhu Harian Makin Tidak Stabil, Ini Dampaknya untuk Kesehatan
Suhu Harian Makin Tidak Stabil, Ini Dampaknya untuk Kesehatan
LSM/Figur
Melawan Korupsi Transisi Energi
Melawan Korupsi Transisi Energi
Pemerintah
KLH Sebut Banjir Sumatera Jadi Bukti Dampak Perubahan Iklim
KLH Sebut Banjir Sumatera Jadi Bukti Dampak Perubahan Iklim
Pemerintah
Terumbu Karang Terancam Dikuasai Alga Tahun 2100 akibat Pengasaman Laut
Terumbu Karang Terancam Dikuasai Alga Tahun 2100 akibat Pengasaman Laut
LSM/Figur
Tekan Emisi, Anak Usaha TAPG Olah Limbah Cair Sawit Jadi Listrik dan Pupuk Organik
Tekan Emisi, Anak Usaha TAPG Olah Limbah Cair Sawit Jadi Listrik dan Pupuk Organik
Swasta
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau