Ketersediaan infrastruktur gas masih sangat terbatas, terutama di wilayah timur Indonesia. Hambatan geografis, seperti kondisi alam dan lokasi ladang gas yang berada di laut dalam serta di daerah terpencil, semakin menyulitkan pembangunan dan pengoperasian jaringan distribusi gas yang efektif.
Dewan Energi Nasional (DEN) melaporkan Indeks Ketahanan Energi (IKE) Indonesia tahun 2023 sebesar 6,64 (kategori "tahan"). Penilaian ini berdasarkan empat aspek (4A): Availability (Ketersediaan) Accessibility (Aksesibilitas), Affordability (Keterjangkauan) dan Acceptability (Penerimaan).
Namun, kategori ini patut dipertanyakan karena konsumsi energi per kapita masyarakat Indonesia masih rendah, baik dalam bentuk BBM, BBG maupun Listrik. Sehingga, kategori “tahan” di atas menjadi diragukan atau “semu” (pseudo).
Sebagai perbandingan, konsumsi listrik Indonesia kini sekitar 1.400 kWh per kapita, jauh lebih rendah dibandingkan Singapura (9.576 kWh), Malaysia (5.404 kWh), Thailand (3.067 kWh), dan (bahkan) Vietnam (2.507 kWh).
Rendahnya konsumsi energi ini diperparah oleh fenomena deindustrialisasi yang terjadi sebelum Indonesia benar-benar menjadi negara industri. Hal ini ditandai dengan penurunan kontribusi manufaktur terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).
Baca juga: Potensi Ekonomi Industri Manufaktur Energi Terbarukan Rp 8.824 triliun, 40 Persen PDB
Kontribusi industri terhadap PDB menurun drastis dari 27,8 persen (2008) menjadi 18,67 persen (2023). Penurunan ini mencerminkan melemahnya peran sektor industri dalam perekonomian nasional.
Banyak penutupan atau relokasi pabrik ke negara tetangga karena biaya energi di Indonesia lebih mahal.
Penghentian pabrik-pabrik ini telah berdampak pada Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terhadap ratusan ribu pekerja.
Menurut IMF, Indonesia kini memiliki tingkat pengangguran tertinggi di ASEAN (5,2 persen) per April 2024. Sementara, Malaysia, Vietnam, Singapura, dan Thailand memiliki angka pengangguran lebih rendah dari Indonesia, bahkan jika dibandingkan dengan AS dan Inggris sekalipun.
Harga gas industri di Indonesia adalah yang termahal di ASEAN. Sebagai perbandingan, harga di Malaysia adalah 4,5 dollar AS, Thailand 5,5 dollar AS, dan Vietnam 6,39 dollar AS per MMBtu.
Melalui Perpres No. 121/2020, pemerintah telah menetapkan Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) sebesar 6 dollar AS/MMBtu untuk industri tertentu.
Peraturan HGBT ini kemudian diperpanjang selama lima tahun ke depan melalui Kepmen ESDM No. 76.K/MG.01/MEM.M/2025.
Dalam keputusan ini, HGBT ditetapkan naik menjadi 6,5 dollar AS per MMBtu untuk industri yang menggunakan gas sebagai bahan baku, dan 7 dollar AS per MMBtu untuk industri yang menggunakan gas sebagai bahan bakar.
Dalam pelaksanaan kebijakan ini terjadi beberapa masalah, antara lain kuota yang tidak terpenuhi, biaya tambahan (surcharge) dan penurunan pasokan gas domestik.
Beberapa industri melaporkan bahwa kuota gas yang diterima hanya sekitar 60–75 persen dari kebutuhan mereka.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya