Setelah kuota HGBT habis, industri harus membeli gas dengan harga pasar yang lebih mahal hingga tiga kali lipat dari HGBT. Kenaikan harga ini sudah pasti akan menambah beban biaya produksi.
Baca juga: Pemerintah Ubah Skema Harga Gas Industri, Ini Rinciannya
Penurunan pasokan gas dari Sumatera Selatan dan Tengah ke Jawa Barat sebagai pusat industri nasional telah menyebabkan kesulitan pemenuhan kebutuhan gas untuk industri di wilayah tersebut.
Kebijakan tersebut telah menyebabkan industri non-HGBT terpaksa membeli gas dengan harga pasar yang lebih tinggi, seperti LNG spot, yang berdampak pada peningkatan biaya produksi.
Situasi deindustrialisasi yang “prematur” ini perlu mendapatkan perhatian serius. Karena struktur ekonomi yang bergeser sebelum industrialisasi mencapai potensi sepenuhnya, dan ketika deindustrialisasi terjadi terlalu cepat (dini). Pemerintah harus mengambil langkah-langkah strategis seperti:
Tanpa perbaikan ini, Indonesia berisiko mengalami krisis energi yang akan mnelemahkan daya saing industri, meningkatkan pengangguran secara masif dan relokasi industri padat energi dan modal ke negara lain.
Untuk jangka panjang, Indonesia perlu menjaga cadangan gas alam sebagai warisan energi untuk generasi mendatang.
“Alih-alih menjual cadangan gas domestik dalam jangka pendek, Indonesia dapat memanfaatkan peluang kontrak jangka panjang dengan negara lain guna menjamin pasokan domestik.”
Sikap ini bukan berarti mengesampingkan Kedaulatan Energi, melainkan upaya cerdas dalam mengelola portofolio energi nasional.
Mandiri Energi tidak berarti harus mengandalkan sumber daya energi sendiri atau “mengharamkan” impor. Jepang, Korea Selatan, dan Singapura tidak memiliki cadangan gas alam yang besar, tetapi mereka berhasil mandiri energi karena memiliki modal, teknologi, dan sumber daya manusia yang unggul.
Baca juga: Bahlil Tinjau Operasi Hulu Migas PHM, Tegaskan Komitmen Tingkatkan Produksi Energi Nasional
Indonesia perlu segera menyusun peta jalan (roadmap) energi yang jelas dan realistis, memperkuat investasi dan pembangunan infrastruktur gas, termasuk energi terbarukan.
Keterlambatan pembangunan infrastruktur pipa dan terminal LNG domestik, serta kurangnya insentif eksplorasi dan investasi gas akan menyeret Indonesia ke dalam "krisis senyap" (silent crisis).
Lucu rasanya jika kita punya cadangan gas berlimpah, tapi industri harus gigit jari karena pembangunan infrastruktur dan logistik energi belum sempat diseriusi.
Rasanya seperti menanam padi tapi malah keburu lapar: cadangan tersedia, namun tak kunjung bisa dimanfaatkan karena pembangunan infrastruktur masih dalam tahap wacana.
Pada akhirnya, cadangan gas hanya menjadi hiasan statistik, sementara industri tersandera oleh sistem distribusi energi yang tertera di dalam dokumen saja.
Sehingga, kita hanya sekadar menjadi penonton di tengah potensi Surplus Gas yang Semu...
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya