KOMPAS.com - Pemerintah Nepal mengatakan akan mengambil langkah-langkah perlindungan agar keindahan alam dan ekosistem Himalaya tetap lestari, sekaligus mengelola aktivitas pendakian agar tidak merusak lingkungan dan membahayakan pendaki itu sendiri.
Hal tersebut diungkapkan oleh Menteri Pariwisata Nepal, Badri Prasad Pandey, Selasa (27/5/2025) saat menghadiri Everest Summiteers Summit, pertemuan dengan sekitar 100 pendaki dari seluruh dunia yang berhasil menaklukkan Gunung Everest.
Dalam forum itu, peserta menyatakan kekhawatiran tentang meningkatnya jumlah orang memadati dan mencoba mendaki puncak 8.849 meter yang membuat gunung menjadi padat dan kotor.
Melansir Euro News, pemerintah Nepal tahun lalu mendanai tim tentara dan Sherpa untuk menyingkirkan 11 ton sampah, empat mayat, dan kerangka dari Everest selama musim pendakian.
Baca juga: Perubahan Iklim Terlalu Cepat, Tanaman di Gunung Tak Mampu Adaptasi
"Saat ini perubahan iklim dan pemanasan global membahayakan gunung dan merupakan tugas kita untuk melindunginya bagi generasi yang akan datang," kata Pandey.
Selain itu juga limbah manusia merupakan salah satu masalah terbesar di base camp Everest.
Jika pendaki mengurangi waktu tinggal mereka di kamp dasar dari delapan minggu menjadi hanya satu minggu, ini akan menghasilkan penurunan limbah manusia sebesar 75 persen.
Pengurangan limbah manusia ini tidak hanya berarti lebih sedikit sampah di gunung, tetapi juga mengurangi kebutuhan akan sumber daya yang harus dibawa naik ke kamp-kamp yang lebih tinggi dan ke gunung itu sendiri.
Sumber daya ini bisa berupa peralatan untuk mengelola limbah atau perlengkapan logistik lainnya. Dengan lebih sedikit limbah, beban logistik dan lingkungan juga berkurang secara signifikan.
Departemen Pendakian Gunung Nepal juga ingin menyelidiki penggunaan gas xenon untuk memahami implikasinya secara menyeluruh sebelum memutuskan apakah akan mengizinkan atau melarang penggunaannya di masa mendatang.
Gas xenon disebut dapat membantu tubuh beradaptasi lebih cepat dengan kondisi rendah oksigen di ketinggian tinggi, berpotensi mengurangi risiko penyakit ketinggian dan memungkinkan pendakian yang lebih cepat.
Namun penggunaannya masih menimbulkan perdebatan.
Baca juga: UNESCO Validasi Ulang Status Geopark 2 Gunung di NTB
Lukas Furtenbach, yang membawa tim pendaki Inggris mengatakan gas xenon mempercepat pendakian dan tidak berdampak pada lingkungan.
Para pendaki biasanya menghabiskan waktu berminggu-minggu di base camp untuk menyesuaikan diri dengan ketinggian yang lebih tinggi.
Mereka melakukan latihan lari ke kamp yang lebih rendah di Everest sebelum memulai upaya terakhir mereka di puncak sehingga tubuh mereka siap menghadapi tekanan rendah dan kadar oksigen yang lebih rendah.
Furtenbach mengatakan kemampuan untuk mendaki puncak dalam waktu yang lebih singkat dapat mengurangi dampak lingkungan terhadap gunung.
"Satu-satunya alasan mengapa kami bekerja dengan xenon adalah untuk membuat pendakian lebih aman, untuk melindungi pendaki dari penyakit ketinggian," kata Furtenbach.
Akan tetapi percepatan pendakian ini bisa memunculkan problem lain.
Semakin banyak orang yang ingin mendaki Everest, semakin ramai jalur pendakiannya.
Keramaian ini, terutama saat cuaca bagus, membuat perjalanan di jalur yang sudah sempit dan berbahaya menjadi jauh lebih berisiko bagi para pendaki dan berpotensi juga merusak lingkungan.
“Masalah dan kekhawatiran terbesar saat ini adalah kepadatan pendaki,” kata Adriana Brownlee, salah satu pendaki puncak tertinggi termuda.
Baca juga: Geopark Kebumen dan Meratus Resmi Diakui Taman Bumi Dunia UNESCO
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya