Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Publik Global Dukung Pajak Karbon, Apalagi jika Atasi Ketimpangan

Kompas.com, 24 Juni 2025, 18:31 WIB
Monika Novena,
Yunanto Wiji Utomo

Tim Redaksi

Sumber Grist.org

KOMPAS.com - Studi mengungkapkan ada kesadaran dan dukungan yang berkembang di masyarakat dunia untuk menggunakan instrumen pajak demi mengatasi perubahan iklim dan mengurangi kemiskinan.

Temuan ini menumbangkan keyakinan bahwa masyarakat membenci pajak.

Studi yang dipublikasikan di Nature ini justru menunjukkan dukungan kuat dari masyarakat soal penerapan pajak karbon, bahkan jika itu berarti harus membuat mereka mengeluarkan uang dari kantong sendiri.

Hasil studi ini berdasarkan survei skala besar yang melibatkan lebih dari 40.000 responden di 20 negara berbeda, terdiri dari 12 negara berpendapatan tinggi dan 8 negara berpendapatan menengah seperti India dan Ukraina.

Para peneliti menyurvei sedikitnya 1.465 orang di setiap negara selama beberapa minggu pada bulan Mei 2024.

Sebagai informasi, pajak karbon adalah pungutan terhadap emisi karbon dioksida yang punya tujuan membuat emisi menjadi lebih mahal dan mendorong perusahaan serta individu untuk mengurangi jejak karbon mereka.

Baca juga: Tambah Usia, Tambah Hijau: Jakarta Bisa Adopsi Hutan Vertikal dan Pajak Karbon Warga

Adrian Fabre, pemimpin penulis studi, tidak terkejut dengan hasil survei yang menunjukkan dukungan masyarakat terhadap pajak iklim.

Penelitian-penelitian sebelumnya juga sudah menunjukkan bahwa dukungan publik terhadap kebijakan ekonomi yang bertujuan mengatasi perubahan iklim sebenarnya lebih tinggi dari perkiraan.

Mengutip Grist, Selasa (24/6/2025), studi ini menguji reaksi orang mengenai pajak karbon global yang menanyakan pendapat: makin besar kontribusi seseorang terhadap perubahan iklim, makin besar pula yang harus mereka bayar dan sebagai gantinya, setiap orang di dunia akan menerima 30 dolar AS per bulan.

"Orang-orang dengan jejak karbon lebih besar dari rata-rata dunia akan rugi secara finansial, dan mereka yang memiliki jejak karbon lebih rendah dari rata-rata dunia akan untung," kata Fabre.

Hasil studi menemukan, Jepang menunjukkan dukungan tertinggi, dengan 94 persen responden mendukung gagasan untuk menghubungkan kebijakan yang memerangi ketimpangan dan perubahan iklim.

Namun, kebijakan pajak karbon ini paling tidak populer di Amerika Serikat, di mana rata-rata orang bertanggung jawab atas sekitar 18 ton CO2 per tahun.

Baca juga: Negara Berkembang Kecewa, Pajak Karbon Pelayaran Dinilai Kurang Ambisius

Sebaliknya, dukungan mencapai 75 persen di seluruh Uni Eropa, di mana emisi per kapita adalah 10 ton.

"Orang-orang di negara-negara berpenghasilan tinggi mau sedikit mengurangi kemampuan mereka untuk membeli barang atau jasa asalkan pengorbanan mereka akan membantu menyelesaikan perubahan iklim dan kemiskinan global," kata Fabre.

Namun, studi juga mencatat, meski suatu kebijakan seperti pajak karbon mungkin didukung pada awalnya, popularitasnya bisa menurun setelah diterapkan.

Ini pernah terjadi pada pemerintah Kanada yang menerapkan pajak pada bahan bakar fosil. Awalnya, pada 2019 banyak orang mendukung rencana ini. Akan tetapi dukungan menurun drastis ketika harga bahan bakar mulai naik sehingga kebijakan dibatalkan awal tahun ini.

Fabre menambahkan, terlepas dari apakah penetapan harga karbon adalah solusi terbaik untuk masalah iklim dunia, ada satu hal penting yang jelas, yakni orang-orang cenderung lebih mendukung kebijakan iklim yang juga membantu mengatasi kemiskinan.

"Kebijakan yang mengurangi kesenjangan ekonomi sangat disukai masyarakat. Jika kebijakan ekonomi digabungkan dengan kebijakan iklim, maka kebijakan iklim akan menjadi lebih populer," katanya.

Tinggal apakah pemerintah benar-benar memahami dan akan menerapkan kebijakan ganda tersebut.

Baca juga: Isu Emisi Karbon Tenggelam

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya
PR Besar Temukan Cara Aman Buang Limbah Nuklir, Iodin-129 Bisa Bertahan 15 Juta Tahun
PR Besar Temukan Cara Aman Buang Limbah Nuklir, Iodin-129 Bisa Bertahan 15 Juta Tahun
LSM/Figur
WVI Luncurkan WASH BP 2.0, Strategi 5 Tahun Percepat Akses Air dan Sanitasi Aman
WVI Luncurkan WASH BP 2.0, Strategi 5 Tahun Percepat Akses Air dan Sanitasi Aman
LSM/Figur
Dunia Sepakat Hapus Tambalan Gigi Merkuri pada 2034
Dunia Sepakat Hapus Tambalan Gigi Merkuri pada 2034
Pemerintah
Fokus Perdagangan Karbon, Misi RI di COP 30 Dinilai Terlalu Jualan
Fokus Perdagangan Karbon, Misi RI di COP 30 Dinilai Terlalu Jualan
LSM/Figur
Pulau Obi Jadi Episentrum Baru Ekonomi Maluku Utara
Pulau Obi Jadi Episentrum Baru Ekonomi Maluku Utara
Swasta
Dari Gaza hingga Ukraina, Alam Jadi Korban Sunyi Konflik Bersenjata
Dari Gaza hingga Ukraina, Alam Jadi Korban Sunyi Konflik Bersenjata
Pemerintah
Cacing Tanah Jadi Sekutu Tak Terduga dalam Perang Lawan Polusi Plastik
Cacing Tanah Jadi Sekutu Tak Terduga dalam Perang Lawan Polusi Plastik
LSM/Figur
Subsidi LPG 3 Kg Diproyeksikan Turun 21 Persen, Jaringan Gas Jadi Alternatifnya
Subsidi LPG 3 Kg Diproyeksikan Turun 21 Persen, Jaringan Gas Jadi Alternatifnya
LSM/Figur
Laut Kunci Atasi Krisis Pangan Dunia, tapi Indonesia Tak Serius Menjaga
Laut Kunci Atasi Krisis Pangan Dunia, tapi Indonesia Tak Serius Menjaga
LSM/Figur
Konsumen Gandrungi Kendaraan Listrik, Penjualan Baterai EV Naik 9 Kali Lipat
Konsumen Gandrungi Kendaraan Listrik, Penjualan Baterai EV Naik 9 Kali Lipat
LSM/Figur
Indef: Ambisi B50 Sejalan dengan Transisi Energi, tapi Butuh Stabilitas Pendanaan
Indef: Ambisi B50 Sejalan dengan Transisi Energi, tapi Butuh Stabilitas Pendanaan
LSM/Figur
Ethiopia Jadi Tuan Rumah COP32, COP31 Masih Jadi Rebutan Australia dan Turki
Ethiopia Jadi Tuan Rumah COP32, COP31 Masih Jadi Rebutan Australia dan Turki
Pemerintah
RI Jadikan Sektor FOLU Pilar Pasar Karbon Internasional Dalam COP30
RI Jadikan Sektor FOLU Pilar Pasar Karbon Internasional Dalam COP30
Pemerintah
Masalah Baru, Cara Usang: Resep Orde Baru Dinilai Tak Akan Atasi Krisis Pangan
Masalah Baru, Cara Usang: Resep Orde Baru Dinilai Tak Akan Atasi Krisis Pangan
LSM/Figur
Biasanya Jadi Gula, Kini Pertamina Pikirkan Ubah Aren Jadi Bioetanol
Biasanya Jadi Gula, Kini Pertamina Pikirkan Ubah Aren Jadi Bioetanol
BUMN
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau