JAKARTA, KOMPAS.com — Penggunaan bus listrik dalam transportasi publik berpotensi signifikan menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK).
Berdasarkan penelitian Institute for Transportation and Development Policy (ITDP) Indonesia, penerapan bus listrik di 11 kota bisa mengurangi emisi GRK hingga 24 persen pada 2030, setara sekitar 900.000 ton CO2 atau seperti menanam 3,6 juta pohon yang tumbuh selama sepuluh tahun.
Namun, manfaat lingkungan ini dinilai belum cukup menjamin keberlanjutan. Tanpa komitmen dan dukungan kebijakan yang menyeluruh, program elektrifikasi berisiko menjadi tren sesaat yang mahal, tanpa menjawab krisis mobilitas dan iklim secara struktural.
“Setiap kota punya tantangan berbeda. Pendekatan implementasi harus sesuai dengan kondisi lokal,” tulis ITDP dalam laporannya, Sabtu (5/7/2025).
ITDP mencatat sejumlah hambatan mendasar dalam upaya elektrifikasi transportasi publik. Di banyak kota, kapasitas fiskal terbatas, otoritas transportasi belum mapan, dan koordinasi antar lembaga lemah.
Sementara di tingkat nasional, tidak adanya target yang mengikat dan kebijakan yang tidak konsisten membuat transisi dari bus berbahan bakar fosil menjadi bus listrik berjalan lambat.
Baca juga: 70 Bus Listrik dari China Tiba, Damri Perkuat Transportasi Hijau
Kota Jakarta kerap disebut sebagai pelopor elektrifikasi transportasi publik dengan uji coba Transjakarta pada 2019. Sejak 2022, ITDP melakukan pendampingan dan evaluasi untuk memastikan kinerja serta pembelajaran awal dari implementasi bus listrik terdokumentasi dengan baik.
Namun, pengalaman Jakarta tidak serta-merta bisa direplikasi ke kota lain. ITDP menyebut, tanpa insentif fiskal dan nonfiskal yang memadai serta pedoman pelaksanaan yang jelas, program elektrifikasi di daerah lain terancam menjadi proyek simbolik yang tidak berkelanjutan.
Sejumlah kota memang mulai mengadopsi bus listrik. Medan mengoperasikan 60 unit bus listrik dalam sistem BRT Trans Mebidang sejak 2024. Surabaya mengoperasikan 12 unit, setelah sebelumnya menggunakan 14 unit saat KTT G20. Yogyakarta dan Semarang juga memulai dengan masing-masing dua unit bus listrik.
ITDP juga menyarankan agar elektrifikasi dimulai dari segmen yang lebih ringan, seperti Mobil Penumpang Umum (MPU) atau angkutan pengumpan (feeder), yang dinilai lebih hemat biaya dan dapat memperluas cakupan transportasi publik.
Baca juga: Emisi Transportasi Darat Diprediksi Capai Puncaknya Tahun Ini
Kota Pekanbaru menjadi contoh awal dengan meluncurkan layanan feeder listrik pada Juni 2025. Kota ini menjadi yang pertama mengoperasikan layanan feeder listrik secara reguler, bukan sekadar uji coba.
Meski demikian, adopsi bus listrik secara nasional masih tertinggal.
“Sebagian besar kota masih kesulitan dalam implementasi,” ungkap ITDP. Saat ini, hanya 376 unit bus listrik yang beroperasi di lima kota di Indonesia.
Dari sisi teknologi, kemajuan mulai terlihat. Jika hingga 2020 hanya tersedia kurang dari lima model bus listrik, sejak 2022 sejumlah karoseri lokal telah memproduksi bus listrik CKD hasil kerja sama dengan produsen global. Pada 2024, Transjakarta menguji lebih dari 20 model bus listrik dengan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) di atas 40 persen, termasuk bus besar dan menengah. Surabaya pun mulai mengoperasikan bus listrik medium secara reguler.
Namun, ketersediaan teknologi tidak otomatis menjamin transformasi. Sebagian besar implementasi masih terbatas pada uji coba skala kecil.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya